Alam semesta boleh jadi tidak membutuhkan pengaturan-halus

Jagad raya kita diatur oleh hukum-hukum alam yang dinyatakan dengan bahasa matematika. Hukum-hukum alam ini mengatur tidak hanya atom, tetapi juga bintang-bintang, galaksi, dan tubuh manusia. Sering sekali terdengar klaim bahwa konstanta-konstanta fundamental di jagad raya kita ini telah diatur-halus (fine-tuning) agar bintang-bintang–dan dengan demikian juga kehidupan–dapat tercipta.
alam semesta dalam lukisan
Dalam buku Just Six Numbers, astronom Inggris Martin Rees menulis bahwa alam semesta kita diatur hanya oleh enam bilangan yang nilainya ditentukan pada saat dentuman besar (big bang) terjadi. Enam bilangan tersebut adalah 1) N = 10^36 (10 pangkat 36 = 1 000 000 000 000 000 000 000 000 000 000 000 000) yaitu rasio antara gaya listrik dan gaya gravitasi yang mengikat atom-atom, 2) epsilon = 0.007 yaitu kekuatan gaya nuklir yang mengikat atom-atom, 3) omega = 1 yang mengukur kerapatan alam semesta, 4) lambda = 0.7 yang mengukur kekuatan “energi gelap” yaitu sebuah kekuatan misterius yang mempercepat pengembangan alam semesta, 5) Q = 0.00001 adalah bilangan yang menggambarkan tekstur alam semesta yaitu perbedaan kekuatan gaya gravitasi di antara dua tempat yang berbeda, dan 6) D = 3 yaitu jumlah dimensi spasial alam semesta kita.
Lebih lanjut, Rees menulis bahwa apabila satu saja dari keenam bilangan tersebut berubah nilainya sedikit saja, maka alam semesta kita akan menjadi tempat yang lain sekali dan boleh jadi akan menjadi dunia yang tak bersahabat bagi kehidupan.
Sebagai contoh, apabila N lebih kecil misalnya 1000 kali lipat saja, maka gravitasi akan menjadi lebih kuat dari yang terukur sekarang. Karena gravitasi lebih kuat, maka untuk mengimbanginya agar bintang-bintang tetap stabil mereka harus menghasilkan lebih banyak energi dan dengan demikian usia mereka menjadi lebih pendek. Evolusi menuju kehidupan kompleks dengan demikian akan terhambat karena tidak ada cukup banyak waktu. Terlebih lagi, karena gravitasi lebih kuat berarti ukuran makhluk hidup tidak bisa terlalu besar karena gravitasi akan menghancurkan tubuh mereka.
Bilangan kedua, epsilon, menentukan seberapa efisien Hidrogen diubah menjadi Helium melalui reaksi fusi. Apabila nilai epsilon sedikit lebih kecil, misalnya 0.006, maka energi yang dibebaskan dari reaksi nuklir ini akan lebih kecil dan bintang-bintang akan lebih usianya. Tidak hanya itu, reaksi fusi akan menjadi kurang efisien dan bintang-bintang tidak akan mampu membentuk elemen-elemen yang lebih berat daripada Helium. Alam semesta hanya akan berisi Hidrogen dan Helium dan tidak mengandung unsur-unsur berat yang penting bagi kehidupan: Karbon, Nitrogen, Hidrogen, hinga Besi. Sebaliknya, apabila epsilon lebih besar sedikit saja, misalnya 0.008, maka reaksi nuklir akan terlalu efisien dan akibatnya seluruh Hidrogen akan diubah menjadi Helium dan tidak akan ada sisa untuk pembentukan bintang generasi berikutnya yang esensial dalam pembentukan unsur-unsur berat.
Apabila bilangan ketiga, Omega, nilainya lebih kecil dari satu, maka alam semesta akan mengembang terlalu cepat dan galaksi-galaksi tidak akan dapat terbentuk karena gas-gas yang menjadi bahan dasar pembentuk galaksi akan terbawa oleh pengembangan alam semesta. Akibatnya gas-gas ini tidak dapat runtuh dan bersatu membentuk galaksi. Seandainya omega bernilai lebih besar daripada satu, maka alam semesta akan runtuh terlalu cepat menjadi big crunch (kebalikan dari big bang) dan tidak akan sempat membentuk bintang-bintang.
Bilangan keempat, Lambda, menentukan percepatan pengembangan alam semesta. Apabila pengembangan alam semesta dipercepat terlalu banyak, maka galaksi-galaksi dan bintang-bintang yang sudah terbentuk dengan cepat akan terobek, terbongkar, dan tidak akan sempat menghasilkan kehidupan.
Q bernilai 1/100 000, dan mengukur fluktuasi gaya gravitasi di dua tempat yang berbeda, dan menentukan pembentukan struktur di alam semesta. Apabila nilai Q lebih kecil, struktur tidak akan terbentuk dan alam semesta tidak akan memiliki galaksi, bintang-bintang, apalagi planet. Namun apabila Q lebih besar, akan tercipta lebih banyak titik-titik konsentrasi materi di alam semesta. Konsekuensinya, titik-titik konsentrasi ini akan membentuk banyak lubang hitam dan akan menyedot terlalu banyak materi.
Bilangan terakhir, D = 3, menentukan jumlah dimensi spasial di alam semesta. Nilai D adalah 3 karena kita hidup dalam tiga dimensi. Kenapa hidup dalam 3 dimensi menjadi spesial? Hidup dalam tiga dimensi memungkinkan kita mendefinisikan titik (satu dimensi), bidang (dua dimensi), dan ruang (tiga dimensi). Secara matematis kita juga dapat mendefinisikan ruang empat dimensi, lima dimensi, dan seterusnya. Namun kenapa ruang tiga dimensi lebih menguntungkan bagi kehidupan? Kehidupan tidak dapat muncul apabila alam semesta hanya memiliki 2 dimensi, apalagi 1 dimensi. Tidak mudah untuk hidup di alam 2 dimensi karena pergerakan kita sangat terbatas dan sangat sulit untuk mengenali bentuk-bentuk lain. Hidup di alam semesta 4 dimensi juga tidak menguntungkan karena gaya-gaya yang pada alam semesta 3 dimensi nilainya berbanding terbalik dengan kuadrat jarak akan berbanding terbalik dengan kubik jarak. Gravitasi adalah salah satu gaya yang kekuatannya berbanding terbalik dengan jarak kuadrat. Apabila gravitasi berbanding terbalik terhadap jarak kubik, maka sedikit perlambatan akan membuat sebuah planet bergerak tak terkontrol menuju matahari, sementara sedikit saja percepatan akan melontarkan sebuah planet dari matahari. Dalam kedua kasus, kehidupan kompleks akan lebih sulit terbentuk.
Martin Rees kemudian menyimpulkan bahwa keenam angka tersebut tidak boleh bernilai sembarangan dan memerlukan pengaturan-halus (fine-tuning) sehingga jagad raya yang kemudian dihasilkan pasca dentuman besar akan bersahabat untuk kehidupan kompleks. Jagad raya kita memiliki angka-angka yang cocok, apakah ini hasil kebetulan belaka ataukah ini tanda-tanda adanya pencipta cerdas (intelligent designer)? Martin Rees menawarkan pilihan ketiga bahwa jagad raya kita hanyalah satu dari sekian banyak jagad raya yang independen satu sama lain, dan bahwa di jagad raya lain itu terdapat kombinasi enam angka berbeda yang kemudian menghasilkan hukum-hukum fisika yang berbeda dengan hukum-hukum alam di jagad raya kita. Perkembangan fisika teori paling mutakhir, misalnya teori inflasi, kelihatannya mengizinkan keberadaan jagad raya lain (multiverse) ini.
Pendapat Martin Rees yang mengatakan bahwa enam besaran tersebut hanya boleh memiliki nilai-nilai tertentu untuk dapat menghasilkan jagad raya yang bersahabat bagi kehidupan kini ditantang oleh Fred Adams, seorang astrofisikawan dari Universitas Michigan di Ann Arbor. Dalam publikasi terbaru yang akan segera diterbitikan, Adams berkata bahwa tiga konstanta fisika yang paling relevan dalam proses pembentukan dapat saja memiliki nilai yang berbeda dengan apa yang terdapat di jagad raya kita, namun masih mengizinkan terbentuknya bintang-bintang. Dengan kata lain, angka-angka yang dimiliki jagad raya kita tidak sespesial yang selama ini diduga.
Fred Adams mengevaluasi tiga parameter fundamental yang paling penting bagi pembentukan bintang: konstanta gravitasi G, konstanta struktur halus alpha yang menentukan kekuatan gaya elektromagnetik, dan parameter C yang menentukan laju reaksi nuklir yang menghasilkan reaksi nuklir yang memungkinkan bintang bersinar.
Tiga nilai ini lalu diubah-ubah nilainya dan ditentukan rentang nilai yang paling dapat menghasilkan bintang yang dapat bersinar cukup lama sehingga memberikan kesempatan bagi kehidupan agar dapat muncul di planet yang mengitari bintang tersebut. Berdasarkan pengalaman di tata surya kita sendiri, dibutuhkan waktu kira-kira satu milyar tahun semenjak kelahiran Matahari hingga munculnya kehidupan.
Satu cara untuk mengevaluasi kombinasi ketiga angka tersebut adalah dengan melihat bagaimana parameter tersebut mempengaruhi massa maksimal dan minimum bintang-bintang yang dihasilkan. Jika massa bintang yang dihasilkan terlalu kecil, reaksi fusi tidak akan terjadi dan kita akan mendapatkan terlalu banyak bintang katai coklat. Namun jika massa bintang terlalu besar, tekanan radiasi tidak akan dapat mengimbangi tarikan gravitasi bintang itu sendiri. Akibatnya bintang akan runtuh dan membentuk lubang hitam.
Hasil penemuan Fred Adams, seluruh konstanta G, alpha, dan C, dapat memiliki nilai yang berbeda hingga 100 kali lebih besar atau lebih kecil daripada yang diamati di jagad raya kita, namun perbedaan besar tersebut masih mengizinkan terbentuknya bintang-bintang.
Martin Rees sendiri berpendapat untuk tidak terkejut dengan hasil temuan Fred Adams, karena sudah banyak astronom yang menunjukkan bahwa alam semesta dengan gravitasi yang lebih kuat masih dapat menghasilkan bintang-bintang–namun hidup mereka akan lebih pendek. “Ini tidak akan menghasilkan jagad raya yang menguntungkan karena nantinya tidak akan ada cukup banyak waktu untuk evolusi menuju kehidupan kompleks,” ia juga menambahkan, “lagipula objek-objek sebesar kita manusia akan dihancurkan oleh kekuatan gravitasi.”
Namun bintang-bintang bukanlah satu-satunya cara untuk menyokong kehidupan. Sebuah lubang hitam, sebagai contoh, diduga memancarkan energi dalam wujud Radiasi Hawking. Menurut Stephen Hawking, lubang hitam sebenarnya meluruh dengan memancarkan radiasi sedikit-demi-sedikit hingga akhirnya lubang hitam tersebut meluruh sepenuhnya. Radiasi ini dinamakan Radiasi Hawking. Fred Adams menunjukkan bahwa ada rentang nilai alpha dan G yang lebar yang megizinkan pembentukan lubang hitam yang dapat memancarkan radiasi Hawking begitu kuatnya sehingga dapat menyokong sebuah planet selama milyaran tahun.
Namun Fred Adams tetap menekankan bahwa studi ini barulah permulaan untuk mengetahui seberapa halusnya jagad raya kita ini diatur. Dia menambahkan, bahkan juga hukum-hukum fisika mengizinkan bintang-bintang muncul dan bersinar melalui reaksi fusi, konstanta-konstanta fundamental lain dapat saja menentukan apakah bintang-bintang ini dapat terbentuk dalam jumlah besar, dan juga menentukan apakah mereka dapat menyokong kehidupan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Hujan Meteor Quadrantids 2011

Selamat Tahun Baru 2011!
Memulai tahun baru tentunya masing-masing kita punya kegiatan. Apakah kegiatan itu bersama teman, keluarga, atau sendiri tapi tentunya semua bisa menjadi awal yang baik bagi perjalanan di tahun yang ada di depan kita.
Nah memulai tahun baru, selain pesta kembang api atau mungkin refleksi pribadi, ada satu fenomena langit yang juga bisa dinikmati. Walau tidak sespektakuler hujan meteor besar lainnya, Sejak tanggal 28 Desember 2010 – 12 Januari 2011, kita bisa menikmati hujan meteor tahunan Quadrantids yang akan mencapai puncaknya pada tanggal 4 Januari 2011. Puncak hujan meteor ini juga beragam dimulai dari kisaran waktu 21.00 UT ( 3 Januari) atau 04.00 wib tanggal 4 Januari sampai dengan jam 06.00 UT atau 12.00 wib pada tanggal 4 Januari 2011.

Asal Usul

Nama meteor Quadrantid berasal dari konstelasi kuni Quadrans Muralis yang ditemukan di atlas bintang awal abad ke-19 di antara rasi Draco, Hercules dan Bootes. Konstelasi ini kemudian ditiadakan dari peta bintang bersama dengan beberapa konstelasi lainnya di tahun 1922 saat International Astronomical Union (IAU) mengadopsi 88 rasi yang dikenal untuk masuk dalam peta bintang modern.
Quadrantids kemudian “direlokasi” ke konstelasi Bootes setelah Quadrans Muralis tiada, dan tetap mendapat nama Quadrantids karena hujan meteor lainnya di bulan Januari juga sudah dikenal sebagai hujan meteor Bootids.
Sampai dengan tahun 2003, belum diketahui dengan pasti asal usul meteor Quadrantids. Di tahun tersebut, Peter Jenniskens dari NASA menemukan bukti kalau meteor Quadrantids ini berasal dari 2003 EH1, asteroid yang diperkirakan juga sebagai potongan komet yang hancur sekitar 500 tahun lalu. Orbit Bumi berpotongan tegak lurus dengan orbit 2003 EH 1, yang artinya Bumi akan bergerak cepat melewati puing-puingnya. Akibatnya hujan meteornya menjadi sangat singkat.


Hujan Meteor Quadrantids 2011. kredit : Stellarium

Pengamatan Quadrantids

Hujan meteor ini sudah diamati sejak 2 Januari 1825 January 2 oleh Antonio Brucalassi (Italia), namun sesungguhnya hujan meteor Quadrantids belum banyak dipelajari oleh para pengamat visual. Kok bisa?
Sebabnya, meteor ini berada terlalu ke utara bagi para pengamat di belahan bumi selatan dan bagi para pengamat langit utara meski hujan meteor Quadrantids terlihat jelas bagi mereka, cuaca musim dingin biasanya menjadi salah satu faktor penghalangnya.
Faktor lainnya adalah singkatnya waktu maksimum hujan meteor Quadrantids, yang menyeabkan pengamat kehilangan kesempatan melihat puncak hujan meteor tersebut karena berada pada lokasi yang tidak tepat. Bagaimana tidak puncak hujan meteornya hanya beberapa jam.
Faktor terakhir yang jadi problematika pengamatan hujan meteor yang satu ini adalah redupnya si hujan meteor Quadrantids sehingga dibutuhkan kondisi yang sangat sangat baik bagi pengamat utuk bisa menikmatinya.
Nah, bagi pengamat di Indonesia, hujan meteor Quadrantids akan tampak dari arah utara rasi Bootes dan ia akan tampak setelah tengah malam atau setelah rasi Bootes terbit di kisaran jam 1 pagi. Dalam peta bintang modern, Quadrantids ini tampak berlokasi di tempat pertemuan rasi Bootes, Hercules dan Draco.
Dengan posisi hanya berkisar 30 derajat, bagi para pengamat di Indonesia sebaiknya mencari lokasi yang area horison langitnya tidak tertutup gedung pohon dll. Selain itu dibutuhkan lokasi yang gelap dan tidak terpengaruh polusi cahaya. Pada puncaknya di tanggal 4 Januari 2011, pengamat yang beruntung bisa menikmati setidaknya 40 meteor per jam namun pada hari-hari lainnya diperkirakan yang tampak hanya kisaran 15 meteor per jam.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

NEA yang (Konon Katanya) Mengancam Kehidupan di Bumi

Masih ingat karya Hollywood yang menggugah minat kita dulu? Deep Impact dan Armageddon, dua film sci-fi ini membuka mata kita kalau sesuatu di luar Bumi mengancam kehidupan umat manusia (lupakan perang saudara, invasi militer, wabah penyakit, bencana alam sekelas tsunami yang melanda Aceh!). Asteroid sebesar 1 km digambarkan bisa menyebabkan kerusakan sedemikian parahnya. Bayangkan apa yang akan terjadi kalau planet kecil menubruk bumi? Siapkah kita menghadapinya?
Ilustrasi tabrakan asteroid dengan Bumi. Kredit : NASA/Don Davis
Mengenal NEA
Saat asteroid saling bertabrakan, sebagian terlempar dari Sabuk Asteroid (terletak di antara orbit Mars dan Jupiter) dan masuk ke wilayah Tata Surya bagian dalam Sisanya diganggu gravitasi Jupiter. Objek-objek ini melintasi orbit Mars dan Bumi, kadang-kadang malah menubruk planet tersebut.
Asteroid-asteroid yang mengembara sampai sejauh 1,3 AU (195 juta km) dari Matahari, menembus orbit Mars, disebut Near Earth Asteroid (NEA). Sampai saat ini sudah diketahui lebih dari 250 NEA dan dikelompokkan dalam tiga kelompok. Pertama, asteroid-asteroid Amor. Orbitnya melintasi orbit Mars tapi tidak melintasi orbit Bumi. Contoh Asteroid kelas ini adalah 433 Eros, NEA terbesar kedua dan pernah dikunjungi kendaraan luar angkasa NEAR (Near Earth Asteroid Randevouz). Kelompok kedua adalah asteroid-asteroid Apollo, yang melintasi orbit Bumi dan periode orbitalnya (waktu yang dibutuhkan untuk mengelilingi Matahari sebanyak 1 kali) lebih dari satu tahun. Contoh kelompok ini adalah 1620 Geographos. Ketiga, asteroid-asteroid Aten. Seperti Apollo yang melintasi orbit Bumi, hanya saja periode orbitalnya lebih pendek. 2340 Hathor termasuk kelompok asteroid ini.
NEA juga bisa berasal dari sisa-sisa komet yang sudah mati. Orbit NEA dipengaruhi oleh gravitasi Matahari atau planet atau tumbukan dengan benda-benda lain. Kira-kira 40 % NEA merupakan pecahan-pecahan komet yang terperangkap dan sisanya berasal dari Sabuk Asteroid.
Diperkirakan ada 100 asteroid Aten, 700 asteroid Apollo, dan 1000 asteroid Amor yang berdiamter lebih dari 1 km. Karena melintasi atau lewat dekat sekali dengan orbit Bumi, serempetan atau tumbukan bisa saja terjadi. Sebenarnya kejadian ini bukan hal yang tidak biasa mengingat…
Tabrakan-tabrakan Itu …
Kawah Meteorit Barringer, Arizona, terbentuk saat meteorit dengan berat 300.000 ton menghantam Bumi 50.000 tahun lalu. Kreit : APOD/ Stefan Seip (Astro Meeting)
Pada tanggal 30 Juni 1908 ledakan besar terjadi di Tunguska, Siberia. Penyebabnya adalah asteroid berdiameter antara 40-100 km, lumayan ‘kecil’ untuk bisa dideteksi bahkan dengan teleskop ground-based modern yang ada di bumi sekarang ini. Benda luar angksa tersebut meledak pada ketinggian 5-8 km, energinya sekitar 20-50 juta ton TNT, lebih besar dari bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945. Tabrakan ini menghancurkan lebih dari 0,5 ha hutan di wilayah jatuhnya asteroid.
Yang tidak kalah spektakuler adalah asteroid sebesar rumah yang jatuh 50000 tahun yang lalu di utara Arizona. Hasilnya adalah kawah sedalam 200 m dan berdiameter 1250 m. Masih ada lebih dari 150 kawah akibat tabarakan dengan asteroid yang ditemukan di permukaan Bumi dan lebih banyak lagi yang tersembunyi di dasar laut.
Punahnya dinosaurus diduga berkaitan dengan jatuhnya asteroid berdiameter sekitar 10 km yang jatuh ke Bumi 65 juta tahun yang lalu di daerah Yucatan Meksiko membentuk Kawah Chicxulub (Ekor Setan) berdiameter antara 200-300 km sedalam sekitar 3 km yang sebagian menjadi Teluk Meksiko. Diperkirakan kepunahan masal seperti itu juga pernah terjadi sekitar 250 tahun yang lalu juga akibat asteroid berdiameter antara 6-12 km (dijuluki Great Dying). Dampak yang ditimbulkan saat itu jauh lebih parah dibandingkan saat musnahnya dinosaurus.
Pada tanggal 23 Maret 1989 asteroid berenergi kinetik lebih dari 1000 bom hydrogen 1 megaton-an (50000 kali lebih kuat dari bom yang dijatuhkan di Hiroshima) melintas dekat sekali dengan Bumi (sekitar 64000 km jauhnya dari Bumi). Para ahli memperkirakan Bumi dan asteroid yang dinamai 1989FC ini (yang berbobot 50 juta ton dan bergerak dengan kecepatan 74000 km/jam) telah melalui titik yang sama hanya berjarak 6 jam.
Ancaman untuk Bumi?
Bagaimanapun kekhawatiran pasti muncul mengingat fakta-fakta di atas dan populasi NEA yang mencapai ribuan. Munculnya kekhawatiran juga tidak terlepas dari hasil perhitungan matematis. Bila ada asteroid jatuh di Samudra Atlantik, seluruh pantai timur Amerika Serikat akan tersapu gelombang laut sampai 200-an km ke arah daratannya. Di Eropa gelombang ini menjangkau Perancis dan Portugal. Owen Toon dan koleganya dari ARC-NASA mendapatkan kalau besarnya asteroid 1 km dan jatuh di laut dengan kedalaman 4 km, efek gelombang pasangnya terasa sampai Samudera Pasifik.
Bagaimana kalau diameter asteroid 200 m dengan kecepatan 50 km/s? Adushkin dan Nemchinov dari Rusia menghasilkan gambaran yang mencemaskan. Sibakan air laut dalam waktu 40 detik bisa setinggi 35 km.
Hal ini lah yang mendorong Ballistic Missile Defence Organization atau Strategic Defence Initiative Organization mengusulkan kerja sama dengan NASA untuk merancang satelit penghancur berpeluru kendali sejak awal tahun 1990-an. Proyek ini dinamakan Clementine-2 dengan sistem LEAP (Light ExoAtmospheric Projectiles).
Dengan makin canggihnya instrumen, sekarang ini banyak ditemukan asteroid yang termasuk ‘berbahaya”. Contohnya adalah Asteroid 1997XF yang diperkirakan akan mendekati Bumi pada tanggal 26 Oktober 2028. Selain itu juga dilacak asteroid yang pada tahun 2019 akan tabrakan dengan Bumi.
Memang ancaman dari langit terasa mengerikan. Namun ditilik dari fenomena astronomis, hal ini wajar saja. Lihat saja sejoli Bumi kita, Bulan yang permukaannya bopeng dibombardir asteroid dan benda-benda kosmik lainnya. Walaupun menimbulkan kekhawatiran, akan lebih mengerikan lagi kalau kehancuran Bumi disebabkan oleh penghuninya sendiri.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Scorpius Si Kalajengking Pembunuh

Alkisah ada seorang pemburu yang gagah perkasa bernama Orion. Suatu waktu ia pergi ke Pulau Kreta dan menghabiskan waktunya disana dengan berburu, ditemani oleh Dewi Artemis dan Leto.
Scorpio, si rasi kalajengking. kredit : stellarium
Sang pemburu sangat percaya diri akan kemampuan berburunya dan yakin bahwa ia mampu mengalahkan dan membunuh segala macam makhluk buas yang ada di muka Bumi. Mendengar ini, Dewi Bumi, Gaia, pun marah dan sengaja melepaskan seekor kalajengking raksasa, Scorpius, untuk mengalahkan Orion. Scorpius berhasil membunuh Orion dengan sengatan capitnya. Sebagai pelajaran untuk manusia agar tidak berlaku sombong di atas muka Bumi dan atas permintaan Artemis dan Leto, Dewa Zeus menempatkan dua makhluk ini di langit sebagai sebuah kenangan atas apa yang telah terjadi.
Meskipun keduanya hadir dalam kisah mitologi yang sama, tempat Orion dan Scorpius di langit tidak pernah berdekatan. Malahan, letaknya berseberangan. Seiring dengan kemunculan rasi Scorpius di kaki langit dekat horison, rasi Orion pun perlahan mulai tenggelam di kaki langit seberangnya. Konon sengaja ditempatkan demikian untuk menghindari pertarungan lebih lanjut antara keduanya. Demikianlah asal usul rasi Scorpius hadir di langit malam seperti dikisahkan dalam mitologi Yunani.
Rasi Scorpius adalah salah satu rasi bintang yang menonjol di langit selatan dan tergolong ke dalam 12 rasi bintang zodiak. Di antara rasi bintang lainnya, Rasi Scorpius merupakan rasi yang paling jelas merepresentasikan sebutannya: kalajengking. Sangat mudah mengidentifikasi rasi ini karena bentuk melengkungnya yang sangat jelas dan ekor panjangnya yang mengarah ke selatan, ditambah lagi dengan bintang merah terang, Antares, di jantung rasi ini.
Rasi scorpius berbatasan dengan rasi Ophiucus di sebelah utaranya, Rasi Libra dan Lupus di sebelah timurnya, Rasi Ara dan Norma di sebelah selatannya, dan dengan Corona Australis dan Sagittarius serta sedikit lagi Ophiucus di sebelah baratnya.
Untuk pengamat yang tinggal di belahan bumi utara, Scorpius dapat dilihat merangkak melintasi langit selatan dekat horison, dari bulan April hingga September. Untuk pengamat di belahan bumi selatan, Scorpius dapat dilihat tepat di atas langit selatan.
Karakteristik
Dikatakan bahwa rasi ini kaya akan bintang dan gugusan bintang, yang sebagian besar dapat dilihat dengan bantuan teleskop kecil. Tiga bintang paling terang di rasi ini adalah Alpha (a) Scorpii atau yang lebih akrab dengan sebutan Antares, Beta (b) Scorpii atau Grafias, dan Delta (d) Scorpii atau Dschubba. Dari ketiganya, yang paling terkenal dan paling terang tentu saja Antares (oleh sebab itu dinotasikan dengan (a) karena kedudukannya sebagai bintang pertama paling terang di rasi ini).

Antares memiliki magnitudo 0,96 dan dilihat dengan mata telanjang berwarna merah cemerlang. Berjarak sekitar 600 tahun cahaya dari kita, Antares merupakan bintang maharaksasa merah. Sifat khas dari bintang raksasa merah adalah cenderung variabel, artinya intensitas cahaya bintang senantiasa nampak berubah-ubah dengan periode tertentu. Antares memiliki perubahan magnitudo dari 0.9 hingga 1.2. Antares berarti anti-Ares atau anti-Mars. Penamaan ini menunjukkan bahwa warna merah Antares bersaing dengan warna merah Mars. Sebenarnya Antares merupakan bintang ganda, tetapi tanpa bantuan teleskop kita tidak mungkin dapat memisahkan kedua komponennya. Bagi yang memiliki teleskop lebih besar dari 10cm, silahkan menikmati bintang pasangan Antares, nampak hijau pucat jika dibandingkan dengan Antares, dengan magnitudo 5.4 dengan separasi sudut ~3”.
Grafias, berjarak sekitar 530 tahun cahaya, juga merupakan bintang ganda yang memiliki dua komponen bintang yang keduanya berwarna biru, satu memiliki magnitudo 2,8 dan satu lagi memiliki magnitudo 5,4. Dschubba yang bertempat di bagian capit rasi ini, merupakan bintang raksasa biru yang terangnya 1530 kali lebih terang dari Matahari kita. Jaraknya dari kita sekitar 402 tahun cahaya. Beberapa bintang lainnya yang juga dapat dilihat dengan mata telanjang pada rasi ini adalah q Scorpii (Sargas), l Scorpii (Shaula), n Scorpii (Jabbah) yang merupakan sistem bintang majemuk dengan empat komponen, s Scorpii (Alniyat) yang merupakan bintang ganda, t Scorpii (juga Alniyat), dan u Scorpii (Lesath). Selain itu, pada rasi Scorpius terdapat juga bintang variabel, yaitu RR Scorpii. Bintang ini memiliki periode yang panjang. Magnitudo visualnya merentang dari 5.0 12.4 setiap 281.45 hari.
Masih banyak obyek lain yang tidak kalah menarik terdapat di rasi ini, terutama obyek Messier seperti gugus bola M4 dan M80, serta gugus bintang terbuka seperti M7 dan M6. M4, yang letaknya berdekatan dengan bintang Antares, merupakan gugus bola yang mudah diidentifikasi karena terangnya dan ukurannya yang besar. Jaraknya sekitar 6.800 tahun cahaya dan memiliki magnitudo 5,9. Meskipun mudah diidentifikasi, masih sulit untuk melihat gugus bola M4 tanpa bantuan teleskop besar.
Gugus bola lainnya, M80, yang berada di sebelah utara rasi ini adalah gugus bola yang yang agak redup dan sangat padat. Diperlukan teleskop yang sangat besar untuk mempelajarinya dengan detil. M80 memiliki magnitudo 7,2 dan berjarak sekitar 26.000 tahun cahaya. Selain gugus bola, terdapat gugus bintang terbuka M7 dan M6. M7 (disebut juga sebagai gugus bintang Ptolemeus) yang berada di bagian selatan rasi ini, dekat Sagittarius, memiliki magnitudo 3,3 dan berjarak sekitar 780 tahun cahaya. M6 yang berdekatan dengan M7 dan sering disebut juga sebagai gugus kupu-kupu, memiliki magnitudo 4,2 dan berjarak sekitar 2000 tahun cahaya.
Setelah mengetahui kisah Scorpius dan obyek-obyek di dalamnya, mudah-mudahan Anda tidak asing lagi jika menengok ke atas dan mendapati kalajengking raksasa di atas kepala Anda pada waktu-waktu ini. Bulan Juli merupakan waktu yang sangat baik untuk melihat Scorpius. Scorpius dapat dilihat jelas di langit untuk pengamat yang tinggal di lintang +40° hingga -90°. Selamat berkenalan dengan Scorpius!

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Geminids, Dari Mana Asalmu ?

Setiap hari Bumi diguyuri batuan dari antariksa dalam kuantitas yang cukup besar. Astronom Linda Elkis T. Tanton menuturkan sebanyak 55 hingga 216 juta ton batuan antariksa menerobos atmosfer Bumi per hari, yang jika dikumpulkan di satu tempat bisa membentuk sebuah bukit.
Citra komposit instrumen kamera HI–1 STEREO–A pada 17–22 Juni 2009. Lingkaran putih menunjukkan posisi 3200 Phaethon yang terekam dari waktu ke waktu. Busur putih di sisi kiri menunjukkan posisi radius 0,14 SA dari Matahari (jarak perihelion Phaethon). Busur putih tersebut menjadi dasar kerucut yang berpuncak di Matahari (tidak diperlihatkan) dengan sisi–sisi berupa sepasang garis putih. Kerucut ini membatasi area dimana aktivitas pita koronal Matahari berskala besar terjadi pada 20 Juni 2009 pukul 15:49 WIB. Kredit foto : Jewitt & Ling
Batu–batu itu terpanaskan demikian hebat ketika bergesekan dengan molekul–molekul udara sehingga membara sebagai meteor dan mayoritas diantaranya menguap di atmosfer. Sebagian diantaranya merupakan meteoroid yang semula adalah debu terhambur dari komet akibat tekanan radiasi angin Matahari kala benda langit ini bergerak mendekati titik perihelion orbitnya.
Kita di Bumi menyaksikan meteor sisa komet ini seolah–olah muncul dari satu titik dalam sebuah konstelasi bintang tertentu dengan intensitas cukup tinggi yang bisa mencapai puluhan meteor per jam, yang dikenal sebagai hujan meteor periodik (showers). Hujan meteor periodik senantiasa dinanti pecinta langit, sebab memiliki jadwal kedatangan relatif tetap setiap tahunnya dan sanggup menyajikan panorama langit nan spektakuler. Hujan meteor Leonids di tahun 1966 dan 1998 misalnya, demikian menggetarkan siapapun yang melihatnya oleh panorama melintasnya sekitar 100 ribu meteor di langit setiap jamnya.
Di antara sesama hujan meteor periodik, Geminids adalah nama yang kian menanjak popularitasnya khususnya sepanjang tiga dekade terakhir. Berbeda dengan Leonids yang fluktuatif dengan intensitas rata–rata 10 meteor perjam di setiap tahunnya kecuali dalam kurun 33 tahun sekali, maka Geminids yang muncul setiap awal hingga pertengahan bulan Desember tergolong hujan meteor konstan berintensitas besar dimana ZHR (zenith hourly rate)–nya mencapai 120 meteor/jam dengan kecepatan 35 km/detik. Ini sedikit lebih besar dibanding hujan meteor Perseids yang tak kalah populernya dan muncul setiap akhir bulan Juli hingga akhir bulan Agustus, yang konstan pada ZHR 110 meteor/jam dengan kecepatan 59 km/detik. Bedanya, jika meteor Perseids bersumber dari debu–debu komet periodik 109 P/Swift–Tuttle, apa yang menjadi sumber meteor Geminids masih berselubung teka–teki. Keunikan lainnya, Geminids acapkali memproduksi fireball, yakni meteor yang sangat cemerlang sehingga bisa menyamai kecerlangan planet Venus (magnitude visual –4).
Misi antariksa IRAS (Infra Red Astronomical Satellite) yang diluncurkan pada awal dekade 1980–an sempat menyodorkan peluang guna menjawab teka–teki sumber Gemidis. Astronom Simon F. Green dan John K. Davies yang menganalisis citra IRAS 11 Oktober 1983 berhasil mengidentifikasi adanya asteroid redup 3200 Phaethon (1983 TB) sebagai pengorbit Matahari pada lintasan lonjong dengan perihelion 0,14 SA; aphelion 2,4 SA; periode 1,432 tahun; eksentrisitas 0,89 dan inklinasi 22,2°. Inilah asteroid pertama yang terdeteksi lewat observasi landas Bumi.
Orbit Phaethon sangat lonjong sehingga tergolong pelintas Mars, Bumi, Venus dan Merkurius. Perihelionnya jauh lebih dekat ke Matahari dibanding perihelion Merkurius sementara aphelionnya jauh melambung di kawasan Sabuk Asteroid Utama. Yang mengejutkan, karakteristik orbit Phaethon ternyata sesuai dengan meteor Geminids seperti ditunjukkan oleh kriteria Drummond. Padahal sebelumnya diketahui sumber sebuah hujan meteor periodik selalu berhubungan dengan sebuah komet tertentu. Observasi demi observasi selanjutnya kian menegaskan status Phaethon sebagai asteroid, dengan diameter 5 km dan albedo 5 + 1 % tanpa adanya tanda–tanda pelepasan massa dari permukaannya entah sebagai gas atau debu. Phaethon tergolong asteroid langka sebab secara optis nampak biru dimana hanya 4 % populasi asteroid yang demikian.
Eksistensi Phaethon tidak lantas membuat teka–teki Geminids terselesaikan. Sebaliknya, Phaethon justru memancing perdebatan baru akan kemampuan asteroid sebagai sumber hujan meteor. Asteroid memang merupakan sumber meteor, namun berupa meteor spontan yang sifatnya random dan tak terjadwal. Komposisi asteroid sangat berbeda dengan komet, sebab merupakan bongkahan atau butir–butir batuan yang tidak mengandung unsur–unsur volatil pada keraknya seperti air, karbondioksida, sianogen, metana dan gas–gas lain yang acapkali ditemukan pada komet.
Penemuan demi penemuan asteroid yang mirip seperti 4015 Wilson–Harrington, 7968 Elst–Pizzaro dan 2201 Oljato kian memanaskan perdebatan, sebab asteroid–asteroid tadi memiliki sifat yang hanya dimiliki komet seperti bentuk ekor maupun refleksi ultraviolet nan tinggi, namun tidak menampakkan aktivitas lainnya seperti coma maupun emisi gas–gas tertentu. Sempat muncul hipotesis aktivitas mirip komet dari asteroid–asteroid tersebut adalah emisi debu hasil tumbukan dengan sesama asteroid lainnya. Belakangan hipotesis ini menemukan bukti awalnya saat Hubble Space Telescope menyajikan hasil observasi komet P/2010 A2, yang semula diidentifikasi sebagai komet periodik namun ternyata adalah asteroid yang baru saja ditumbuk sesamanya.
Dengan demikian apakah Geminids berasal dari tumbukan asteroid Phaethon dengan sesamanya, yang membuat keraknya terhambur ke angkasa sebagai remah–remah batuan halus? Dengan densitas 2,5 gram/cc dan asumsi diameter efektif 5 km maka Phaethon memiliki massa 1,6 x 1014 kg. Sedangkan massa Geminids diindikasikan 1012 hingga 1013 kg, sehingga ekstrapolasinya bagi Phaethon setara dengan pelolosan massa kerak setebal 5–50 meter. Perhitungan sederhana tersebut memperlihatkan Geminids bisa saja berasal dari Phaethon. Argumen ini seakan menemukan buktinya menyusul penemuan asteroid 2005 TD. Asteroid bergaris tengah 1,3 km itu secara optis dan dinamis sama karakteristiknya dengan Phaethon.
Belakangan diketahui asteroid 1999 YC juga memiliki karakteristik dinamis yang sama dengan Phaethon, meski secara optis tidak. Penemuan demi penemuan ini membuat sejumlah astronom berspekulasi bahwa Phaethon, 2005 TD dan 1999 YC mungkin adalah bongkahan–bongkahan besar yang tersisa dari tumbukan terhadap terhadap asteroid Pallas (garis tengah 544 km) yang saat ini menghuni kawasan Sabuk Asteroid Utama. Kemungkinan ini ditunjang oleh pemodelan numeris Bottke dkk (2002) yang memperlihatkan asosiasi Phaethon dengan anggota Sabuk Asteroid Utama bagian dalam dengan probabilitas hingga 80 %.
Namun spekulasi ini dimentahkan oleh umur Phaethon dan posisi sumber Geminids. Phaethon diindikasikan telah berada di orbitnya sekarang sejak 26 juta tahun silam, sehingga tumbukan yang memecahbelah Pallas sekurang–kurangnya terjadi 26 juta tahun lalu. Sebaliknya Geminids merupakan hujan meteor berusia muda, dimana model numerik dengan memasukkan efek tekanan radiasi dan gangguan gravitasi antar planet mengindikasikan meteoroid–meteoroid Geminids terbentuk 600 hingga 2.000 tahun silam.
Geminids sendiri baru mulai teramati sejak 1,5 abad terakhir, tepatnya sejak tahun 1865. Astronom NASA William Cooke menuturkan, analisis lebih teliti terhadap sumber Geminids menyimpulkan meteoroid itu bersumber dari lingkungan sangat dekat dengan Matahari, bukan jauh di kedalaman Sabuk Asteroid Utama. Sehingga sumber Geminids terlokalisir di Phaethon sendiri khususnya perilakunya pada titik perihelionnya, bukan sebagai hasil tumbukan yang diduga telah memecahkan Pallas jutaan tahun silam. Untuk itu observasi terhadap dinamika optis Phaethon saat berada di titik perihelionnya mutlak diperlukan.
Observasi terlaksana ketika Phaethon menempati titik perihelionnya pada 20 Juni 2009. Dalam posisi itu Phaethon berada dalam lingkup medan pandang satelit pengamat Matahari STEREO, meski dari sepasang satelit STEREO hanya satu saja (yakni STEREO–A) yang berhasil mengidentifikasi pergerakan Phaethon khususnya lewat instrumen kamera SECCHI HI–1 pada rentang waktu 17–22 Juni 2009. Analisis pendahuluan mengidenfitikasi adanya peningkatan kecerlangan Phaethon secara dramatis, fenomena yang mengejutkan sebab selama ini hanya bisa teramati di komet.
Tertarik akan fenomena ini maka David Jewitt dan Jing Li, keduanya astronom University California of Los Angeles, memutuskan untuk menyelidiki lebih lanjut. Ternyata benar, Phaethon memang mengalami peningkatan kecerlangan yang spektakuler hingga 2 magnitude (6 kali lipat) dari sebelumnya saat di perihelionnya. Namun pada saat yang sama aktivitas Matahari sedang mengalami sedikit lonjakan yang ditandai terdeteksinya pita koronal berskala besar meski tidak sempat berkembang menjadi pelepasan massa (coronal mass ejection).
Perbandingan peningkatan kecerlangan pada Phaethon (kurva atas) dengan langit latar belakang (kurva bawah) yang disebabkan oleh lonjakan kecil aktivitas Matahari. Sekilas kedua kurva nyaris identik, namun kurva bawah mulai menanjak menuju puncak 12 jam sebelum kurva atas mengalami hal serupa. Ini mengindikasikan kecerlangan Phaethon tidak dipengaruhi oleh lonjakan aktivitas Matahari. Kredit foto : Jewitt & Ling
Analisis secara hati–hati memperlihatkan peningkatan kecerlangan Phaethon tidak berhubungan dengan lonjakan aktivitas Matahari karena lonjakan tersebut sudah terjadi sejak 12 jam sebelumnya. Kecerlangan Phaethon juga tidak berhubungan dengan stimulasi oleh hantaman partikel bermuatan dari angin Matahari ke permukaan Phaethon. Pun demikian, kecerlangan Phaethon bukanlah emisi fluoresensi oleh interaksi foton sinar–X maupun ultraviolet Matahari dengan permukaan Phaethon. Kecerlangan tersebut berhubungan dengan hamburan sinar Matahari dari partikel debu yang diemisikan Phaethon ke lingkungan. Namun dengan posisi Phaethon demikian dekat terhadap Matahari, aktivitas pelepasan debu tersebut tidak mungkin digerakkan oleh sublimasi air dari padat ke uap, maupun oleh gas–gas volatil lainnya. Dalam jarak 0,14 SA dari Matahari, sisi Phaethon yang menghadap ke Matahari akan memiliki suhu 470o C hingga 780o C. Dengan perkiraan Phaethon telah berada di orbitnya sekarang sejak 26 juta tahun lalu maka panas yang diterima permukaannya dikonduksikan secara kontinu ke interior Phaethon sehingga suhu inti bisa mencapai 30o C. Secara keseluruhan disimpulkan kala Phaethon berada di perihelionnya, ia menjadi benda langit yang terlalu panas sehingga tak mungkin air berbentuk es bisa eksis.
Apparent magnitude Phaethon terhadap sudut fase dibandingkan benda langit hipotetik di posisi Phaethon yang memiliki fungsi sudut fase seperti terukur di Bulan (kurva merah) dan inti komet Tempel (kurva hitam). Nampak Phaethon mengalami lonjakan apparent magnitude hingga +2,0 (6 kali lipat) dari semula, yang tidak terjadi pada benda–benda langit hipotetik tersebut. Ini menunjukkan adanya perubahan karakteristik permukaan Phaethon secara mendadak di perihelionnya sehingga diikuti peningkatan kecerlangan. Kredit foto : Jewitt & Ling
Pemodelan Jewitt dan Ling memperlihatkan pelepasan debu dari permukaan Phaethon salah satunya disebabkan oleh pemecahan mineral terhidrat. Sebagai fragmen Pallas, Phaethon tergolong asteroid tipe C yang kaya mineral terhidrat seperti filosilikat (lempung). Di Bumi, terpecahnya lempung bisa ditemukan pada lapangan–lapangan berlumpur yang dipanggang terik Matahari, sehingga terjadi penyusutan yang membentuk retakan–retakan di permukaannya. Proses yang sama diduga terjadi di Phaethon. Selain itu produksi debu juga disebabkan oleh pemuaian badan Phaethon akibat tekanan interior yang dikontrol oleh perbedaan suhu siang dan malam yang dramatis. Dengan periode rotasi 3,6 jam dan variasi suhu siang–malam Phaethon sebesar 230o C didapatkan tekanan interior Phaethon mencapai 500–5.000 bar, jauh lebih tinggi dibanding batas tekanan yang bisa diterima batuan sebelum terpecah yakni 100 bar.
Profil kecerlangan permukaan Phaethon sebelum dan sesudah mengalami peningkatan kecerlangan, masing–masing ditandai dengan lingkaran hitam dan putih. Nampak bahwa hingga 100 detik busur dari pusat Phaethon, terdeteksi adanya perbedaan kecerlangan antara sebelum dan sesudah peningkatan kecerlangan, sementara pada radius lebih dari 100 detik busur tidak teramati. Kredit foto : Jewitt & Ling,
Jewitt dan Ling juga memperlihatkan, tiadanya uap air dan gas–gas lainnya membuat debu Phaethon hanya sanggup terlepas dari permukaan lewat tekanan radiasi foton Matahari. Namun tekanan radiasi hanya sanggup mendorong partikel–partikel debu yang diameter maksimumnya 1 mm. Fenomena pelepasan debu Phaethon membuat Jewitt dan Ling mengusulkan perlunya klasifikasi baru bagi komet, yakni komet batu, yang mengemisikan debu dari permukaannya lewat kombinasi dekomposisi dan peretakan batuan di bawah lingkungan suhu tinggi tanpa sedikitpun melibatkan air maupun gas–gas volatil lainnya. Dengan debu 1 mm, Phaethon mengemisikan 2,5 x 108 kg debu setiap kali mencapai perihelionnya. Jumlah ini sangat kecil karena bila dibandingkan massa meteoroid Geminids, secara kasar bisa dikatakan bahwa dalam setiap 10 ribu partikel meteoroid Geminids hanya sebutir yang beasal dari Phaethon. Dengan kata lain emisi debu Phaethon hanyalah komponen minor dalam meteoroid Geminids.
Pertanyaan mengenai asal–usul sumber Geminids memang belum terjawab dengan tuntas sampai saat ini. Geminids berasal dari lingkungan di dekat Matahari, namun hanya sebagian sangat kecil saja yang berasal dari emisi debu Phaethon di titik perihelionnya. Dan kini muncul klasifikasi baru : komet batu, dimana Phaethon adalah anggota pertamanya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

KOI-428b Planet Baru Di Akhir Tahun 2010

Menutup tahun 2010, dunia exoplanet seperti tak mau ketinggalan ikut memberi sentuhan di akhir tahun. Sebuah planet baru ditemukan lagi sekaligus menjadi planet terakhir yang ditemukan di tahun 2010.
Ilustrasi transit exoplanet KOI-428b pada bintang induknya. Kredit : Exoplanet app.
Planet yang diberi nama KOI-428b tersebut ditemukan oleh tim astronom Perancis dan Swiss tengah mengitari bintang sub-raksasa kelas F dan menggenapi jumlah exoplanet yang sudah ditemukan menjadi 516.
Pengamatan Kepler
Bermula dari misi ruang angkasa Kepler yang diluncurkan Maret 2009 untuk menemukan exoplanet melalui sistem transit, tim ini memulai petualangannya untuk menemukan si planet KOI-428b. Kepler sendiri diketahui sudah memulai penemuan planet semenjak 33,5 setelah ia mulai beroperasi ditandai dengan penemuan planet serupa Neptunus, 4 planet panas Jupiter, dan sebuah sistem dengan 2 planet transit berukuran Saturnus.
Dari 156 ribu bintang yang menjadi target pengamatan Kepler, ada sekitar 706 kandidat exoplanet yang berhasil diidentifikasi dan 306 kandidat di antaranya sudah dipublikasikan. Kesemua kandidat tersebut diperkirakan mengorbit bintang redup.  Dari data yang sudah dipublikasikan tersebut,  satu di antaranya adalah bintang KOI-428 yang diamati Kepler pada masa awal operasinya yakni dari 13 Mei – 15 Juni 2009, dengan durasi pengamatan 29,4 menit.
Data yang ada kemudian digunakan untuk penelitian lebih lanjut oleh tim astronom Perancis dan Swiss yang  menggunakan spktograf SOPHIE pada teleskop 1,93 meter di Observatoire de Haute Provence. Setelah melakukan pengamatan, mereka menemukan adanya planet mengorbit bintang dengan radius 2,13 radius Matahari setiap 6,87 hari.
Bintang KOI-428
Planet baru yang ditemukan dengan menggunakan spektograf SOPHIE diketahui mengorbit bintang KOI-428 yang berada pada jarak 8806.2 tahun cahaya dan memiliki massa 1,48 massa Matahari.  Bintang yang berada di rasi Cygnus ini merupakan bintang sub raksasa kelas F5IV.  Kelas F merupakan klasifikasi bintang berdasarkan spektrumnya. Berada di kelas F berarti si bintang memiliki garis H dan K yang kuat dari Ca II. Dan karakterisasi spektrumnya ditunjukkan oleh garis hidrogen yang lemah dan logam terionisasi.
Bintang di kelas F berwarna putih kekuningan dengan temperatur efektif berkisar antara 6000- 7500 K dan waktu yang dibutuhkan selama berada di Deret Utama adalah 3 – 7 milyar tahun. Bintang KOI-428 sendiri saat ini berusia 2,8 milyar tahun dan merupakan bintang sub-raksasa.
Disebut bintang sub-raksasa (sub-giant) dan menempati kelas luminositas IV, bintang pada klasifikasi ini telah berhenti membakar hidrogen di inti dan mulai berevolusi untuk keluar dari deret utama. Pada tahap ini bintang mulai mengembang dalam ukuran dan kecerlangannya. Atau dengan kata lain, bintang KOI-428 merupakan bintang yang sudah mulai meninggalkan deret utama dan bergerak menuju tahap evolusi berikutnya yakni raksasa merah.  Bintang di kelas sub-raksasa seperti KOI-428 ini menghasilkan energi dari pembakaran hidrogen di selubung bintang yang mengelilingi inti.
Karakteristik planet
KOI-428b merupakan planet panas Jupiter sekaligus merupakan planet transit yang melintasi bintang induk yang memiliki jari-jari 2,13 jari-jari Matahari. Planet yang diumumkan di akhir tahun 2010 ini memiliki massa 2,20 massa Jupiter dan memiliki radius 1,17 kali radius Jupiter. Satu tahun di planet KOI-428b ternyata hanya berlangsung selama 6,87 hari.
Yang menarik dari planet ini adalah karena bintang induknya, KOI-428 berada dalam tahap menuju masa tua atau baru mulai meninggalkan deret utama dan menuju pada raksasa merah. Dengan demikian, para astronom bisa memproleh informasi mengenai kondisi planet-planet pada tahap ini ketika bintangnya mulai mengembang dan akankah planey KOI-428b selamat ketika bintang induknya menjadi raksasa merah? Setelah planet SErGiO ditemukan pada bintang yang ada di tahap raksasa merah, maka tentunya sistem yang sedang menuju raksasa merah akan menarik untuk dipelajari.
Referensi : arXiv , Simbad

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Komet SOHO ke-2000 Ditemukan

Menjelang pergantian tahun 2010 ke 2011, pada tanggal 26 Desember lalu, Solar and Heliospheric Observatory (SOHO) milik ESA/NASA berhasil menemukan kometnya yang ke 2000.
Penemuan ini sendiri bisa terjadi dengan bantuan citizen scientist (ilmuwan wargakota) di seluruh dunia, yang sekaligus menjadikan SOHO sebagai penemu komet terbesar sepanjang masa meskipun pada dasarnya SOHO tidak dirancang untuk menemukan komet melainkan untuk memonitor Matahari. Semenjak diluncurkan 2 Desember 1995 untuk mengamati Matahari, SOHO berhasil memiliki dua kali lipat jumlah komet dari yang sudah diketahui orbitnya selama lebih daru 300 tahun terakhir.

Kontribusi Dunia Bagi Penemuan Komet SOHO

Lantas bagaimanakah komet SOHO bisa ditemukan? Penemuan ini sesungguhnya melibatkan sukarelawan dari astrnom amatir yang dengan tekun melihat dan mengkaji tarian cahaya yang kabur pada citra yang dihasilkan LASCO (Large Angle and Spectrometric Coronagraph), kamera milik SOHO.  Lebih dari 70 orang dari 18 negara berbeda membantu untuk mengenali komet selama lebih dari 15 tahun pencarian lewat citra SOHO yang dipublikasikan di dunia maya.
Komet yang ke 1999 dan 2000 ditemukan pada tanggal 26 Desember oleh Michal Kusiak, mahasiswa astronomi di Jagiellonian University, Krakon, Polandia.  Bagi Michal Kusiak, ini bukan kometnya yang pertama, karena ia sudah menemukan lebih dari 100 komet sejak tahun 2007.
Komet SOHO ke 2000 yang ditemukan Michal Kusiak. Kredit : SOHO
Menurut Karl Battams yang bertanggung jawab atas situs web pencarian komet SOHO, ia akan menerima laporan dari para sukarelawan yang menduga salah satu titik dalam citra LASCO memiliki ukuran dan kecerlangan serta pergerakan menuju Matahari dalam citra LASCO sebagai sebuah komet. Setelah diterima Karl akan mengkonfirmasi kebenaran setiap komet yang ditemukan dan memberikan nomer tidak resmi sebelum kemudian dikirimkan ke Minor Planet Center di Cambridge, yang akan mengkatagorikan benda kecil dalam astronomi dan orbitnya.
Komet SOHO
Perjalanan yang dibutuhkan SOHO untuk menemukan 1000 komet pertamanya adalah 10 tahun dan ia membutuhkan setidaknya 5 tahun untuk mendapatkan 1000 komet berikutnya.  Ini tentunya karena astronom amatir yang berpartisipasi dalam pencarian semakin meningkat serta adanya peningkatan yang tsistematis dan tidak bisa dijelaskan dari jumlah komet di sekitar Matahari. Bahkan di bulan Desember, ditemukan 37 komet baru dan sekaligus juga bisa dikategorikan sebagai badai komet di sekitar Matahari.
LASCO pada dasarnya tidak dirancang untuk menemukan komet sebagai tugas utama. Namun kamera LASCO ini memblok bagian paling terang dari Matahari agar dapat melihat emisi pada atmosfer terluar Matahari yang lebih redup atau yang dikenal sebagai Korona. Dengan tertutupnya cahaya Matahari, maka akan dengan mudah pula mengenali obyek yang lebih redup seperti komet.

Komet di sekitar Matahari

Komet 96P Machholz yang selalu kembali mendekati Matahari setiap 6 tahun. kredit : SOHO
Ada banyak hal yang harus dipahami dari komet-komet tersebut, karena kini kita tahu bahwa di Tata Surya bagian dalam juga terdapat banyak komet dari yang diperkirakan semula.
Dengan mempelajari komet-komet tersebut, kita bisa mengetahui dari mana asalnya, bagaimana ia terbentuk bagaimana ia hancur. Sampai saat ini, diketahui juga bahwa sebagian besar komet SOHO memiliki asal yang sama yakni dari keluarga Kreutz yang merupakan sisa reruntuhan komet besar beberapa ratus tahun lalu.
Komet keluarga Kreutz ini disebut juga sungazers – obyek yang mengorbit sangat dekat Matahari dan kemudian habis menguap dalam beberapa jam setelah penemuannya-.  Selain keluarga Kreutz, komet SOHO lainnya justru mirip bumerang di sekeliling Matahari yang akan kembali secara periodik. Salah satunya adalah 96P Machholz yang mengorbit Matahari setiap 6 tahun dan sudah terlihat oleh SOHO sebanyak 3 kali.

Sumber : NASA

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Hujan Meteor Quadrantids 2011

Selamat Tahun Baru 2011!
Memulai tahun baru tentunya masing-masing kita punya kegiatan. Apakah kegiatan itu bersama teman, keluarga, atau sendiri tapi tentunya semua bisa menjadi awal yang baik bagi perjalanan di tahun yang ada di depan kita.
Nah memulai tahun baru, selain pesta kembang api atau mungkin refleksi pribadi, ada satu fenomena langit yang juga bisa dinikmati. Walau tidak sespektakuler hujan meteor besar lainnya, Sejak tanggal 28 Desember 2010 – 12 Januari 2011, kita bisa menikmati hujan meteor tahunan Quadrantids yang akan mencapai puncaknya pada tanggal 4 Januari 2011. Puncak hujan meteor ini juga beragam dimulai dari kisaran waktu 21.00 UT ( 3 Januari) atau 04.00 wib tanggal 4 Januari sampai dengan jam 06.00 UT atau 12.00 wib pada tanggal 4 Januari 2011.

Asal Usul

Nama meteor Quadrantid berasal dari konstelasi kuni Quadrans Muralis yang ditemukan di atlas bintang awal abad ke-19 di antara rasi Draco, Hercules dan Bootes. Konstelasi ini kemudian ditiadakan dari peta bintang bersama dengan beberapa konstelasi lainnya di tahun 1922 saat International Astronomical Union (IAU) mengadopsi 88 rasi yang dikenal untuk masuk dalam peta bintang modern.
Quadrantids kemudian “direlokasi” ke konstelasi Bootes setelah Quadrans Muralis tiada, dan tetap mendapat nama Quadrantids karena hujan meteor lainnya di bulan Januari juga sudah dikenal sebagai hujan meteor Bootids.
Sampai dengan tahun 2003, belum diketahui dengan pasti asal usul meteor Quadrantids. Di tahun tersebut, Peter Jenniskens dari NASA menemukan bukti kalau meteor Quadrantids ini berasal dari 2003 EH1, asteroid yang diperkirakan juga sebagai potongan komet yang hancur sekitar 500 tahun lalu. Orbit Bumi berpotongan tegak lurus dengan orbit 2003 EH 1, yang artinya Bumi akan bergerak cepat melewati puing-puingnya. Akibatnya hujan meteornya menjadi sangat singkat.
Hujan Meteor Quadrantids 2011. kredit : Stellarium

Pengamatan Quadrantids

Hujan meteor ini sudah diamati sejak 2 Januari 1825 January 2 oleh Antonio Brucalassi (Italia), namun sesungguhnya hujan meteor Quadrantids belum banyak dipelajari oleh para pengamat visual. Kok bisa?
Sebabnya, meteor ini berada terlalu ke utara bagi para pengamat di belahan bumi selatan dan bagi para pengamat langit utara meski hujan meteor Quadrantids terlihat jelas bagi mereka, cuaca musim dingin biasanya menjadi salah satu faktor penghalangnya.
Faktor lainnya adalah singkatnya waktu maksimum hujan meteor Quadrantids, yang menyeabkan pengamat kehilangan kesempatan melihat puncak hujan meteor tersebut karena berada pada lokasi yang tidak tepat. Bagaimana tidak puncak hujan meteornya hanya beberapa jam.
Faktor terakhir yang jadi problematika pengamatan hujan meteor yang satu ini adalah redupnya si hujan meteor Quadrantids sehingga dibutuhkan kondisi yang sangat sangat baik bagi pengamat utuk bisa menikmatinya.
Nah, bagi pengamat di Indonesia, hujan meteor Quadrantids akan tampak dari arah utara rasi Bootes dan ia akan tampak setelah tengah malam atau setelah rasi Bootes terbit di kisaran jam 1 pagi. Dalam peta bintang modern, Quadrantids ini tampak berlokasi di tempat pertemuan rasi Bootes, Hercules dan Draco.
Dengan posisi hanya berkisar 30 derajat, bagi para pengamat di Indonesia sebaiknya mencari lokasi yang area horison langitnya tidak tertutup gedung pohon dll. Selain itu dibutuhkan lokasi yang gelap dan tidak terpengaruh polusi cahaya. Pada puncaknya di tanggal 4 Januari 2011, pengamat yang beruntung bisa menikmati setidaknya 40 meteor per jam namun pada hari-hari lainnya diperkirakan yang tampak hanya kisaran 15 meteor per jam.
Selamat berburu meteor. Clear Sky!

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS