Penemuan Lubang Hitam Termuda

Sebuah berita mengejutkan muncul malam ini. Para astronom yang melakukan penelitian menggunakan Chandra X-ray Observatory milik NASA berhasil menemukan bukti keberadaan lubang hitam termuda di lingkungan kosmik.
Lubang Hitam Muda
Berapa usianya? Jika selama ini para astronom mengenal usia benda langit dalam usia yang sudah sangat tua, bahkan yang muda pun biasanya beberapa ribu tahun, maka obyek yang satu ini jelas sangat unik.
Lubang hitam yang ditemukan ini baru berumur 30 tahun!.
Apa artinya? Artinya, para astronom berkesempatan untuk megamati tipe lubang hitam yang satu ini bertumbuh dan berkembang dari masa kanak-kanak.
Yang pasti, lubang hitam ini akan memberikan informasi yang dapat membawa para astronom memahami ledakan bintang masif yang biasanya menyisakan lubang hitam atau bintang netron. Selain itu para astronom juga bisa mengetahui jumlah lubang hitam di galaksi Bima  Sakti dan galaksi lainnya.
SN 1979C di galaksi M100. Kredit : X-ray: NASA/CXC/SAO/D.Patnaude et al, Optical: ESO/VLT, Infrared: NASA/JPL/Caltech
Lubang hitam yang diamati oleh Chandra ini berasal dari sisa ledakan bintang supernova SN 1979C yang berada di galaksi M100, sekitar 50 juta tahun cahaya dari Bumi. Data yang dihasilkan oleh satelit Swift (NASA), XMM-Newton (ESA), dan ROSAT  (Jerman) berhasil mengungkap sumber sinar-X yang cerlang dan tidak berubah sepanjang pengamatan yang dilakukan dari tahun 1995 – 2007. Ini mengindikasikan kalau obyek tersebut merupakan lubang hitam yang sedang diberi makan oleh materi yang jatuh ke dalamnya dari puing puing supernova atau dari bintang pasangan.
Jika interpretasi ini benar, maka obyek yang ditemukan tersebut merupakan contoh terdekat dari kelahiran lubang hitam yang bisa diamati.

SN 1979C

SN 1979C, pertama kali ditemukan oleh astronom amatir pada tahun 1979, terbentuk saat bintang dengan massa sekitar 20 massa Matahari mengalami keruntuhan.  Pengamatan sebelumnya juga berhasil menemukan lubang hitam baru pada alam semesta jauh dalam bntuk ledakan sinar gamma / gamma ray burst (GBR).
Akan tetapi, SN 1979C ini berbeda karena ia berada lebih dekat dan berasal dari kelas supernova yang tidak terasosiasi dengan ledakan sinar gamma. Jika mengacu pada teori, sebagian besar lubang hitam di alam semesta terbentuk saat inti bintang mengalami keruntuhan dan tidak menghasilkan ledakan sinar gamma. Dan untuk pertama kalinya, lubang hitam seperti itu ditemukan.
Yang jadi permasalahan adalah, sangat sulit untuk bisa menentukan tipe kelahiran lubang hitam karena dibutuhkan pengamatan sinar-X selama beberapa dekade untuk bisa mendapatkan jawabannya.
Lubang hitam berusia 30 tahun yang tampak oleh Chandra ini memiliki kesesuaian dengan teori. Menurut teori yang disampaikan pada tahun 2005, cahaya optik yang sangat terang pada supernova ini ditenagai oleh jet dari lubang hitam yang tidak dapat menembus selubung hidrogen bintang untuk membentuk ledakan sinar gamma.  dan hasil pengamatan SN 1979C ternyata cocok dengan teori tersebut.
Perdebatan Yang Muncul
Meskipun bukti yang ada mengarahkan obyek ini sebagai lubang hitam yang baru terbentuk di SN 1979C, ada kemungkinan lain yang juga dimunculkan mengenai obyek baru dan masih muda ini.
Bisa jadi obyek tersebut merupakan bintang netron muda yang berputar sangat cepat dan menghasilkan angin yang sangat kuat dan partikel berenergi yang kemudian memancarkan sinar-X.  Jika memang benar demikian, maka obyek di SN 1979C ini akan menjadi contoh paling cerlang sekaligus paling muda dari pulsar angin nebula serta bintang netron termuda yang pernah diketahui.  Saat ini pulsar Crab, yang merupakan pulsar angin nebula yang sangat cerlang pun usianya mencapai 950 tahun.
Tags: , , , , ,

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Misteri di Kedalaman Magnetar

Hasil pengamatan Chandra, Swift, dan Rossi X-ray observatories, Fermi Gamma-ray Space telescope milik NASA dan XMM Newton milik ESA berhasil memperlihatkan keberadaan bintang netron yang berotasi lambat dan memiliki medan magnet permukaan yang umum melepaskan ledakan sinar-X dan sinar gamma.
Ilustrasi Bintang netron SGR 0418+5729. Kredit : CXC/M. Weiss
Penemuan ini sekaligus mengindikasikan keberadaan medan magnet internal yang lebih intens dibanding medan magnet di permukaan. Jika demikian hal ini akan memberi implikasi pada evolusi  magnet yang sangat kuat di kosmos.

Medan Magnet Yang Berbeda

Bintang netron SGR 0418+5729 ditemukan oleh Fermi Gamma-ray Space Telescope pada tanggal 5 Juni 2009 saat ia mendeteksi keberadaan ledakan sinar gamma dari obyek tersebut. Observasi lanjutan kemudian dilakukan oleh Rossi X-Ray Timing Explorer (RXTE) selama 100 hari untuk melihat aktivitas bintang netron tersebut. Selain menunjukkan ledakan sinar-X secara sporadik, Rossi X-ray juga melihat pancaran sinar X secara terus menerus dengan denyutan yang teratur dan mengindikasikan kalau bintang ini memiliki  periode rotasi 9,1 detik. Sifat yang dimiliki bintang netron  SGR 0418+5729 memiliki kemiripan dengan kelas bintang netron yang dikenal sebagai magnetar. Magnetar merupakan bintang netron yang memiliki medan magnet ekstrim antara 20 – 1000 kali di atas rata-rata pulsa radio galaktik.
Saat bintang netron berotasi, radiasi dari gelombang elektromagnet frekuensi rendah — atau angin partikel energi tinggi — akan membawa energi menjauh dari bintang, mengakibatkan terjadinya perlambatan dalam laju rotasi bintang.
Dalam pantauan yang dilakukan oleh Chandra dan XMM-Newton sepanjang 490 hari menunjukkan tidak terdeteksinya perlambatan dalam laju rotasi pada SGR 0418. Inilah yang menjadikan bintang netron ini berbeda dari magnetar.
Tidak adanya perlambatan rotasi menyebabkan radiasi gelombang frekuensi rendah menjadi lemah, sehingga medan magnet permukaan akan jauh lebih lemah dari ukuran normal. Tapi pertanyaan lain yang muncul? Darimanakah bintang ini mendapatkan energinya untuk melepaskan ledakan yang demikian kuat disertai pancaran sinar-X terus menerus?
Jawaban yang berlaku umum untuk menjawab asal energi yang memberi tenaga pada panacaran sinar-X dan sinar gamma untuk kasus magnetar,  mengarah pada medan magnet internal yang mengalami putaran dan penguatan dalam interior si bintang netron yang sedang bergolak.
Berdasarkan teori, jika medan internal menjadi lebih kuat lebih dari 10 kali dibanding medan permukaan, peluruhan medan akan memicu terjadinya ledakan sinar-X yang terpancar terus menerus sebagai akibat pemanasan kerak bintang netron atau percepatan partikel.
Nah, pertanyaan lain yang muncul adalah sebesar apakah ketidakseimbangan bisa dipertahankan antara medan permukaan dan medan interior? Disinilah arti penting SGR 0418, karena ia akan menjadi lahan uji bagi teori yang ada. Pengamatan yang dilakukan saat ini sudah menunjukkan ketidakseimbangan antara 50 dan 100. Jika pengamatan lanjutan oleh Chandra menunjukkan medan magnet permukaan di bawah batas normal, maka tampaknya perlu dilakukan kajian lebih mendalam untuk menjelaskan kejadian penuh teka teki tersebut.
Sumber : Chandra/NASA

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Pemetaan Materi Gelap & Pembentukan Gugus Galaksi

Dengan menggunakan Teleskop Hubble, para astronom mengambil keuntungan dari kaca pembesar kosmik untuk membuat peta detil dari materi gelap di alam semesta.
Materi Gelap vs Energi Gelap
Dark matter atau materi gelap merupakan materi yang tidak terlihat yang mengisi sebagian besar massa alam semesta. Pengamatan materi gelap yang dilakukan ini diharapkan dapat membawa perspektif baru mengenai peran energi gelap dalam tahun-tahun awal pembentukan alam semesta.
Hasil yang didapat menunjukkan kalau gugus galaksi bisa jadi terbentuk lebih awal dari yang diperkirakan, sebelum dorongan energi gelap menghambat pertumbuhan mereka. Sebuah peristiwa yang misterius di ruang angkasa, ketika energi gelap melawan gaya tarik gravitasi dari materi gelap. Energi gelap mendorong galaksi hingga terpisah satu sama lainnya dengan meregangkan ruang di antara mereka sehingga menekan pembentukan struktur raksasa yang dikenal sebagai gugus galaksi.

Abell 1689 yang dilihat Hubble. Kredit : NASA, ESA, and D. Coe (NASA JPL/Caltech and STScI)
Salah satu cara yang digunakan astronom untuk menelusuri perang gaya tarik purba ini adalah melalui pemetaan distribusi materi gelap di dalam gugus.
Untuk itu tim peneliti yang dipimpin oleh Dan Coe dari NASA JPL melakukan pengamatan dengan menggunakan Advanced Camera for Surveys pada Hubble untuk melakukan pemetaan materi tak terlihat dalam gugus galaksi masif Abell 1689, yang berada pada jarak 2,2 milyar tahun cahaya.
Gravitasi gugus tersebut sebagian besar berasal dari materi gelap yang bertindak sebagai kaca pembesar kosmik, lentur dan melakukan penguatan cahaya dari galaksi jauh yang ada di belakangnya. Efek yang dikenal dengan nama lensa gravitasi ini menghasilkan beberapa citra melengkung yang diperbesar dari galaksi-galaksi tersebut layaknya tampilan cermin funhouse.
Dengan mempelajari citra yang terdistorsi, astronom bisa menghitung jumlah materi gelap yang ada di dalam gugus. Jika gravitasi gugus hanya berasal dari galaksi tampak, distorsi yang terjadi pada lensa akan jauh lebih emah.
Berdasarkan peta massa resolusi tinggi inlah, Coe dan rekan-rekannya bisa melakukan konfirmasi atas hasil yang sudah ada sebelumnya dan menunjukkan kalau inti Abell 1689 memiliki kerapatan lebih tinggi dalam hal materi gelap untuk gugus seukuran dirinya, berdasarkan simulasi komputasi pertumbuhan struktur.  Penemuan ini cukup mengejutkan karena dorongan energi gelap di awal sejarah pembentukan alam semesta seharusnya menghambat pertumbuhan gugus galaksi.
Karena itulah, gugus galaksi harus sudah mulai terbentuk milyaran tahun lebih awal agar dapat  mencapai jumlah yang kita ketahui saat ini. Di masa awal, alam semesta jauh lebih kecil dan lebih padat dengan materi gelap. Abell 1689 tampaknya telah cukup terisi saat lahir dengan materi berkerapatan tinggi yang ada disekelilingnya pada masa alam semesta dini. Gugus ini tetap membawa materi-materi itu sampai pada kehidupan dewasanya yang diamati saat ini.

Memetakan Yang Tak Mungkin

Abell 1689 merupakan gugus lensa gravitasi paling kuat yang pernah diamati. Observasi yang dilakukan Coe yang kemudian digabungkan dengan penelitian sebelumnya menghasilkan 135 citra yang berbeda dari 42 galaksi latar belakang,
Hasilnya? Lensa citra yang penuh teka teki. dari sinilah para peneliti kemudian mulai mengatur massa Abell 1689 dengan lensa galaksi latar belakang pada posisi yang diamati seperti menyusun sebuah puzzle. Dari sinilah Coe mendapatkan informasi untuk menghasilkan peta resolusi tinggi dari distribusi materi gelap dalam gugus.
Di masa depan, astronom merencanakan untuk memperlajari lebih banyak gugus galaksi untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam akan pengaruh energi gelap. Salah satu program yang akan dilakukan Hubble adalah untuk menganalisa materi gelap pada gugus galaksi raksasa dalam project Cluster Lensing and Supernova survey with Hubble (CLASH).
Survei ini akan dilakukan pada 25 gugus selama 1 bulan sepanjang 3 tahun ke depan. Gugus CLASH dipiliha karena mereka memancarkan sinar-X yang kuat sehingga bisa mengindikasikan keberadaan gas panas dalam jumlah besar di dalam gugus. Kelimpahan gas panas menunjukkan juga kalau gugus tersebut sangat masif.
Dengan melakukan pengamatan pada gugus galaksi, para astronom akan dapat memetakan distribusi materi gelap dan mendapatkan bukti dari pembentukan gugus galaksi awal disertai informasi dari energi gelap di masa awal pembentukan gugus tersebut.\

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Struktur di Bima Sakti Yang Dilihat Fermi

Alam semesta memang demikian luasnya dan meskipun satu per satu misteri berhasil diungkapkan manusia, nun di sana masih ada misteri lain yang menanti. Kali ini teleskop Sinar-X Fermi milik NASA berhasil melihat keberadaan struktur yang tidak kasat mata di pusat Bima Sakti.  Struktur tersebut terentang sepanjang 50000 tahun cahaya dan diyakini merupakan puing sisa letusan lubang hitam berukuran super yang ada di pusat galaksi.
Pandangan Mata Fermi ke Pusat Galaksi

Gelembung yang tampak oleh Fermi merentang sepanjang 25000 tahun cahaya ke utara dan selatan. Kredit : Goddard Space Flight Center NASA
Dalam pengamatannya, Teleskop landas angkasa sinar-X Fermi melihat dua gelembung pancaran sinar-X yang merentang 25000 tahun cahaya ke utara dan selatan dari pusat galaksi. Struktur tersebut tampak merentang lebih dari setengah langit tampak dari rasi Virgo sampai rasi Grus, dan diyakini sudah berusia jutaan tahun.
Doug Finkbeiner dari Harvard-Smithsonian Center for Astrophysics in Cambridge, Mass., bersama rekan-rekannya berhasil melihat gelembung pancaran cahaya tersebut dalam data yang diproses dari  Large Area Telescope (LAT) Fermi.
Saat para astronom lain mempelajari sinar gamma mereka tidak mendeteksi gelembung tersebut dikarenakan keberadaan kabut sinar gamma yang tampak di seluruh angkasa. Kabut ini merupakan partikel yang bergerak dengan kecepatan hampir mendekati kecepatan cahaya yang kemudian  berinteraksi dengan cahaya dan gas antar bintang di Bima Sakti.
Dalam melakukan pengamatan dengan menggunakan LAT, tim LAT dari waktu ke waktu terus menyempurnakan model yang bisa mengungkapkan sumber sinar gamma baru yang selama ini dikaburkan oleh emisi diffuse (emisi sebaran). Tim ini menggunakan berbagai perkiraan terkait dengan kabut sinar gamma untuk kemudian dilakukan isolasi terhadap kabut tersebut dari data LAT sehingga gelembung raksasa bisa tampak.
Petunjuk keberadaan struktur tersebut muncul pada data pengamatan sinar X sebelumnya oleh satelit Roentgen milik Jerman. Data tersebut mengindikasikan keberadaan tepi gelembung yang berada dekat pusat galaksi atau pada orientasi yang sama dengan Bima Sakti.  Setelah itu, Wilkinson Microwave Anisotropy Probe (WMAP) milik NASA juga mendeteksi ekses dari sinyal radio pada posisi gelembung sinar gamma tersebut.
Setelah itu barulah dilakukan pengamatan dan pengumpulan data dari hasil sapuan seluruh langit yang dilakukan Fermi setiap 3 jam. Dan keberadaan struktur di Bima Sakti ini juga merupakan hasil  pengumpulan data selama 2 tahun.

Asal Usul Struktur

Data yang dihasilkan Fermi menunjukkan keberadaan struktur yang merentang sepanjang 50000 tahun cahaya dari konstelasi Virgo sampai konstelasi Grus. kredit :NASA/DOE/Fermi LAT/D. Finkbeiner et al.
Dari hasil pengamatan Fermi, para peneliti kemudian melakukan analisa untuk bisa memahami bagaimana struktur yang belum pernah terlihat sebelumnya itu bisa terbentuk.  Emisi dari gelembung yang dilihat itu jauh lebih kuat dibanding kabut sinar gamma yang terlihat di area lain di Bima Sakti. Gelembung ini juga tampak memiliki tepi yang bisa terdefinisi dengan baik atau bisa terlihat bentuk tepinya. Bentuk struktur yang tampak menunjukkan kalau ia terbentuk dari sejumlah besar energi yang terlepas dengan sangat cepat dari sumber yang masih misterius.
salah satu kemungkinan yang diajukan sebagai asal usul struktur tersebut adalah jet atau letusan tiba-tiba dan dasyat dari lubang hitam di pusat galaksi.
Di galaksi lain, diketahui jet partikel yang sangat cepat itu memang ada dan ditenagai oleh materi yang runtuh ke pusat lubang hitam. Akan tetapi, sampai saat ini belum ada bukti yang mengindikasikan keberadaan jet tersebut di lubang hitam yang ada di pusat Bima Sakti. Diperkirakan jet tersebut terjadi di masa lalu.
Kemungkinan lainnya, gelembung tersebut juga bisa terbentuk dari gas yang mengalir keluar dari ledakan saat pembentukan bintang, dalam hal ini peristiwa yang membentuk sebagian gugus  bintang masif di pusat Bima Sakti beberapa juta tahun lalu.  Di galaksi lain, ledakan bintang tersebut bisa memicu terjadinya aliran gas raksasa yang mengalir keluar.
Sumber : NASA

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Filamen Bintik Matahari 1123 Mengarah ke Bumi

Tanggal 11 november 2010, bintik Matahari aktif 1123 menghasilkan ledakan flare Matahari kelas C4, dan melepaskan filamen materi yang mengarah ke Bumi.
Flare Matahari kelas C4 yang dipotret SOHO. kredit : SOHO
Citra yang dihasilkan Solar and Heliospheric Observatory (SOHO) dan wahana ruang angkasan kembar STEREO milik NASA menunjukkan lontaran massa korona yang lemah muncul dari lokasi ledakan dan mengarah ke selatan menuju garis Bumi-Matahari.  Awan lontaran materi ini akan mencapai medan magnet Bumi sekitar tanggal 14 – 15 November 2010.
Apakah berbahaya? lagi-lagi mungkin itu pertanyaan yang muncul. Dalam flare Matahari, ledakan kelas atau skala C ini tergolong kecil apalagi jika dibandingkan dengan flare skala X atau M yang dikenal sebagai badai Matahari.
Saat lontaran massa korona mencapai Bumi, ia akan berinteraksi dengan medan magnet di Bumi dan berpotensi untuk menimbulkan badai geomagnetik. Pada kejadian tersebut, aliran partikel Matahari akan mengalir turun sesuai dengan garis-garis medan magnetik Bumi ke kutub-kutub Bumi dan bertabrakan dengan atom nitrogen dan oksigen di atmosfer. Untuk kejadian flare Matahari kelas C4 dari bintik Matahari 1123 ini, kemungkinan terjadinya badai geomagnetik mencapai 50%.
Akibatnya?
Akan muncul aurora atau lapisan cahaya bak tirai yang sangat spektakuler. Inilah yang diharapkan dapat dilihat oleh masyarakat Bumi di kutub dan area lintang tinggi. Tidak akan ada efek signifikan bagi Bumi.
Jadi tidak usah kuatir apalagi panik, dan jika anda berada di lintang tinggi, selamat menikmati aurora. Dan bagi yang berada di ekuator seperti di Indonesia, selamat berburu meteor Leonid!
Tags: , , , ,

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Hujan Meteor Leonid 2010

Di pertengahan bulan November 2010, bersamaan dengan Hari Raya Idul Adha, para pengamat langit akan disuguhkan peristiwa menarik untuk dilihat yakni hujan meteor Leonid yang akan tampak dari rasi Leo.
Hujan meteor leonid akan berlangsung mulai tanggal 10 November – 21 November 2010 dan akan mencapai puncaknya pada tanggal 17 – 18 November 2010 jam 15.00 UT atau 22.00 wib. Hujan meteor Leonid memang tergolong hujan meteor yang cukup besar dan bisa dinikmati pengamat langit di belahan bumi utara dan selatan setiap tahunnya setelah lewat tengah malam sampai jelang dini hari. Namun di tahun 2010 ini diperkirakan hujan meteor Leonid hanya memiliki laju 20 meteor / jam. Pada malam puncak hujan meteor leonid, Bulan sedang berada dalam fasa waxing gibbous dan baru akan terbenam jelang pukul 3 dini hari.
Dikenal dengan nama Leonid, hujan meteor ini tampak muncul dari rasi Leo yang terbit di timur. Hujan meteor ini akan tampak saat Bumi melintasi puing-puing debu komet 55P/Tempel-Tuttle.
Rasi Leo yang tampak di timur saat dini hari. Kredit : StarWalk
Hujan meteor Leonid yang radiannya berasal dari rasi Leo. Kredit: StarWalk
Asal Usul
Menelusuri kembali ke tahun 1833, pada tanggal 12 – 13 November, maka saat itu adalah saat dimana hujan meteor Leonid ditemukan sekaligus juga penanda kelahira meteor dalam astronomi. Saat itu, kala senja, beberapa astronom melihat sejumlah meteor di langit dan saat menjelang fajar jumlah meteor yang tampak pun semakin banyak.
Reaksi di masa itu jelas tidak seperti saat ini. Masyarakat pada masa itu justru histeris dan panik karena hujan meteor dikaitkan dengan hari penghakiman akhir, sementara bagi para ilmuwan kehadiran ribuan meteor yang tampak muncul dari rasi Leo ini justru menjadi pengalaman luar biasa.
Penjelasan saat itu penuh dengan berbagai teori yang kemudian berkembang menjadi spekulasi. Di antaranya adalah Matahari menyebabkan terlepasnya gas dari tumbuhan yang baru saja mati beku. Diyakini juga kalau gas yang melimpah itu merupakan hidrogen yang kemudian mengalami pembakaran oleh listrik dan partikel fosfor di udara. Diduga juga kencangnya angin selatan membawa sesuatu yang mengelektrifikasikan udara, yang ketika di waktu fajar yang dingin kemudian menyebabkan terjadinya pelepasan kilatan api yang mengarah ke Bumi.
Hanya D. Olmsted yang memberikan penjelasan yang hampir benar, yakni penampakan meteor dai rasi Leo dan meteor-meteor tersebut beasal dari awan partikel di angkasa, tanpa pernah ada penjelasan awan yang dimaksut itu dari mana.
Di tahun 1867, E.W.L Tempel (Marseilles, France) menemukan komet sirkular dengan kecerlangan 6 magnitudo di dekat rasi Beruang Besar. Sementara pengamatan H. Tuttle (Harvard College Observatory, Massachusetts, USA) pada bulan Januari 1866 juga mengarah pada komet yang sama, sehingga akhirnya komet tersebut dinamai Tempel-Tuttle. Di tahun 1867, T von Oppolzer menghitung periode komet tersebut adalah 33,17 tahun. Dan dari hasil observasi di tahun 1866 pada hujan meteor Leonid, U. J. J. Le Verrier, Dr. C. F. W. Peters, G. V. Schiaparelli, dan von Oppolzer secara terpisah menyimpulkan kalau ada kemiripan antara orbit komet Tempel-Tuttle dan hujan meteor Leonid.
Di tahun 1981, D. K. Yeomans (Jet Propulsion Laboratory, California, USA) mempelajari hubungan komet Tempel – Tuttle dengan hujan meteor Leonid. Ia memetakan distribusi debu disekitar komet tersebut dan mencocokannya dengan data hujan meteor Leonid dari tahun 902 – 1969. Di tahun 1999, David Asher dan Robert McNaught mempublikasikan makalah untuk memprediksikan badai meteor Leonid yang ternyata sesuai dengan kembalinya komet Tempel-Tuttle untuk mendekati Matahari.
Tags: , , , ,

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS