MEMAHAMI PLANET GAS PANAS JUPITER DI SISTEM UPSILON ANDROMEDA

Planet gas raksasa Upsilon Andromeda b, mengorbit dekat dengan bintang induknya dan salah satu sisi wajahnya secara terus menerus mengalami pemanasan oleh panasnya sang bintang. Planet yang terkunci oleh gaya pasang surut bintang ini juga dikenal sebagai planet panas Jupiter karena temperaturnya yang menghanguskan sekaligus ukurannya yang besar dan tersusun oleh gas.
Area Panas Yang Bergeser
Ilustrasi Ups And b yang mengorbit bintang Upsilon Andromeda. Kredit : NASA
Jika melihat kondisinya, mungkin dengan mudah menyimpulkan kalau titik terpanas di planet ini adalah titik yang berhadapan langsung dengan bintang. Namun penelitian sebelumnya menunjukkan kalau bintik panasnya sedikit bergeser dari bintik yang diperkirakan oleh para peneliti. Tampaknya, ada angin kencang yang mendorong materi gas panas ini ke area sekelilingnya.
Tapi penelitian terbaru tampaknya justru menunjukkan hal yang berbeda dari teori yang diberikan.  Spitzer, si teleskop landas angkasa dengan mata infra merah, saat mengamati planet Ups And b justru melihat kalau bintik panas itu justru berada 80 derajat dari area yg diperkirakan berdasarkan teori.  Bintik panas tersebut justru berada ke arah sisi lain planet dan bukan berada tepat dibawah sinar sang bintang.
Yang pasti, para peneliti planet gas di bintang Upsilon Andromeda ini memang tidak mengharapkan kalau bintik panas di Ups And b akan berada demikian jauh dari prediksi pada teori. Artinya, para astronom masih belum betul-betul memiliki semua informasi tentang energetik atmosfer dari planet gas panas Jupiter.
Atmosferik Sains Exoplanet
Pengamatan yang dilakukan Spitzer merupakan bagian dari perkembangan sains yang mempelajari atmosfer exoplanet yang dimulai oleh Spitzer pada tahun 2005. Semenjak itu, bersama dengan Hubble keduanya mempelajari atmosfer beberapa planet tipe Jupiter dan menemukan air metana, karbon dioksida dan carbon monoksida.
Pengamatan Ups And b dilakukan Spitzer selama 5 hari di bulan Februari 2009. Planet yang mengelilingi bintangnya setiap 4,62 hari ini ditemukan dengan cara mengukur terjadinya goyangan aka “wobble” pada bintang dengan menggunakan teknik kecepatan radial. Dalam pengamatannya, Spitzer mengukur kombinasi total cahaya dari bintang dan planet saat si planet mengorbit mengelilingi bintang.  Meskipun teleskop tidak dapat secara langsung melihat planet, ia masih bisa mendeteksi total cahaya infra merah dari sistem ketika sisi panas si planet berada pada medan pandang Bumi. Pada posisi seperti ini, sisi terpanas planet akan memancarkan cahaya infra merah terbanyak.
Sisi Panas Yang Berbeda
Ups And merupakan planet yang terkunci akibat gaya pasang surut bintang. Karena itu ada satu sisinya yang senantiasa menghadap bintang dan senantiasa juga dihujani sinar bintang. Dengan demikian tentu bisa dikatakan, kalau sistem ini akan tampak sangat terang ketika si planet berada di belakang bintang dan menunjukkan wajahnya yang senantiasa mengarah ke Matahari. Dan sistem ini akan tampak gelap ketika si planet kemudian mengayun dan mengarahkan sisi gelapnya ke Bumi.
Tapi ternyata, sistem Ups And justru berada pada kodisi terangnya ketika si planet berada pada sisi bintang dengan sisi tersebut menghadap Bumi. Artinya area terpanas planet justru tidak berada di bawah sinar bintang. Bisa diumpamakan dengan pergi ke panta pada saat senja untuk mendapatkan cuaca terpanas. Mengapa ini terjadi? para peneliti masih belum mengetahuinya.
Beberapa kemungkinan diajukan, termasuk angin supersonik yang memicu terjadinya gelombang kejut yang memanaskan materi dan teori interaksi magnetik antara bintang dan planet. Semua ini masih berupa dugaan dan spekulasi. Untuk bisa mengetahui kesimpulan dan kebenarannya, masih dibutuhkan uji coba dan penelitian mendalam pada kasus di planet gas panas tipe Jupiter lainnya.
Satu hal pasti, hasil ini jelas mengejutkan para astronom sekaligus membuka tabir betapa para astronom pun masih jauh dari memahami dunia asing yang ada di bintang lain …
Sumber : NASA/Spitzer

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

GALAKSI YANG MEMBERSIHKAN KABUT KOSMIK

Tim astronom dari Eropa baru saja membawa astronomi pada tahap yang cukup mencengangkan. Mereka baru saja berhasil mengukur jarak kita ke galaksi terjauh yang bisa dilihat dengan menggunakan Very Large Telescope (VLT) milik ESO.
Galaksi Terjauh 
Setelah melakukan analisa terhadap sinar redup dari galaksi yang diamati oleh para astronom, ternyata ditemukan kalau galaksi yang dilihat itu berada sangat jauh. Galaksi redup tersebut tampak oleh pengamat pada saat alam semesta baru berusia kurang dari 600 juta tahun. Dengan kata lain galaksi tersebut terlihat pada usia muda yakni 600 juta tahun (pergeseran merah 8,6)
Kandidat galaksi UDFy-38135539 yang tampak dalam pengamatan Hubble tahun 2009. Kredit : Hubble/NASA/ESA
Inilah konfirmasi pertama yang dihasilkan dari pengamatan sebuah galaksi yang cahayanya membersihkan kabut buram hidrogen yang mengisi alam semesta dini.  Pengamatan dengan VLT milik ESO ini dilakukan untuk mengkonfirmasikan keberadaan galaksi tersebut yang awalnya diamati oleh Hubble.
Pengamatan galaksi terjauh tersebut dilakukan dengan spektograf SIMFONI yang dipasang pada VLT sehingga para pengamat mampu untuk mengukur jarak sebenarnya dari galaksi yang sangat redup tersebut.
Informasi dari masa lalu
Galaxies pada era reionisasi ketika alam semesta dini. kredit :M. Alvarez ), R. Kaehler, & T. Abel
Untuk mempelajari galaksi mula-mula jelas sangat sulit. Saat cahayanya mencapai Bumi, mereka tampak begitu lemah, redup dan kecil. Redupnya cahaya tersebut hanya bisa terdeteksi pada panjang gelombang inframerah. Hal ini disebabkan karena panjang gelombangnya telah direntang oleh pengembangan alam semesta – efek yang kemudian kita kenal sebagai pergeseran merah.
Dan yang semakin mempersulit para astronom untuk mengenali cahaya galaksi tersebut adalah kondisi pada alam semesta dini.
Pada masa kurang dari 1 milyar tahun setelah Dentuman Besar, alam semesta belum benar-benar transparan karena sebagian besar masih terisi kabut hidrogen yang menyerap sinar ultraungu dari galaksi muda. Ketika itu, alam semesta sedang mengalami masa tenang setelah Dentuman Besar 13,7 milyar tahun lalu.
Di masa tenang tersebut, elektron dan proton bergabung menjadi gas hidrogen. Gas dingin ini merupakan unsur pokok yang mengisi alam semesta di masa yang dikenal sebagai masa kegelapan. Masa ketika tidak ada obyek yang cerlang. Fasa ini berakhir ketika bintang pertama terbentuk dan radiasi ultra ungu yang intens dari bintang baru inilah yang kemudian membersihkan kabut hidrogen dan menjadikan alam semesta transparan. Caranya, atom hidrogen itu dipisahkan kembali menjadi proton dan elektron yang prosesnya kemudian dikenal sebagai masa reionisasi. Epoch pada sejarah awal alam semesta ini merentang dari 150 juta – 800 juta tahun setelah Dentuman Besar. Untuk bisa memahami bagaimana proses reionisasi terjadi dan pembentukan galaksi awal serta evolusinya merupakan salah satu tantangan terbesar dalam kosmologi modern.
Pengamatan Ke Masa Lalu Yang Penuh Tantangan
Meskipun tantangannya cukup sulit, Kamera Medan Luas 3 (Wide Field Camera 3) yang baru pada NASA/ESA Hubble Space Telescope berhasil menemukan kandidat obyek yang diperkirakan merupakan galaksi yang bersinar pada masa reionisasi pada tahun 2009.  Masalahnya, untuk bisa menentukan jarak obyek yang demikian lemah dan jauh merupakan tantangan yang sangat sulit dan hanya bisa dilakukan dengan spektrokopik menggunakan teleskop landas bumi yang sangat besar untuk mengukur pergeseran merah cahaya galaksi.
Pengamatan untuk melakukan konfirmasi kandidat galaksi yang dinamai UDFy-38135539  dilakukan dengan VLT selama 16 jam. Dan setelah melakukan analisa selama 2 bulan, tim astronom pun meyakini kalau galaksi yang dideteksi ini berasal dari hidrogen dengan pergeseran merah 8,6. Dengan demikian galaksi UDFy-38135539 merupakan obyek terjauh yang pernah diamati dan dikonfirmasikan keberadaannya dengan pengamatan spektroskopik.
Pergeseran merah 8,6 ini menunjukkan kalau si galaksi yang terlihat tampak oleh pengamat di Bumi  keika Dentuman Besar baru terjadi 600 juta tahun sebelumnya.
Yang menarik dari penemuan UDFy-38135539 adalah, sinar dari galaksi UDFy-38135539 tampaknya tidak terlalu kuat untuk membersihkan kabut hidrogen seorang diri. Pastinya ada galaksi lain yang juga berperan membersihkan kabut hidrogen dan membuat area di sekitar galaksi jadi transparan. Diperkirakan galaksi lain itu merupakan tetangga UDFy-38135539  yang jauh lebih redup dan kurang masif. Tanpa adanya bantuan dari galaksi lain untuk membersihkan kabut, jelas galaksi UDFy-38135539 masih akan terperangkap dalam kabut hidrogen dan pengamat di Bumi tak kan pernah bisa melihatnya.
Sumber : ESO

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

GALAKSI YANG MEMBERSIHKAN KABUT KOSMIK

Tim astronom dari Eropa baru saja membawa astronomi pada tahap yang cukup mencengangkan. Mereka baru saja berhasil mengukur jarak kita ke galaksi terjauh yang bisa dilihat dengan menggunakan Very Large Telescope (VLT) milik ESO.
Galaksi Terjauh 
Setelah melakukan analisa terhadap sinar redup dari galaksi yang diamati oleh para astronom, ternyata ditemukan kalau galaksi yang dilihat itu berada sangat jauh. Galaksi redup tersebut tampak oleh pengamat pada saat alam semesta baru berusia kurang dari 600 juta tahun. Dengan kata lain galaksi tersebut terlihat pada usia muda yakni 600 juta tahun (pergeseran merah 8,6)
Kandidat galaksi UDFy-38135539 yang tampak dalam pengamatan Hubble tahun 2009. Kredit : Hubble/NASA/ESA
Inilah konfirmasi pertama yang dihasilkan dari pengamatan sebuah galaksi yang cahayanya membersihkan kabut buram hidrogen yang mengisi alam semesta dini.  Pengamatan dengan VLT milik ESO ini dilakukan untuk mengkonfirmasikan keberadaan galaksi tersebut yang awalnya diamati oleh Hubble.
Pengamatan galaksi terjauh tersebut dilakukan dengan spektograf SIMFONI yang dipasang pada VLT sehingga para pengamat mampu untuk mengukur jarak sebenarnya dari galaksi yang sangat redup tersebut.
Informasi dari masa lalu
Galaxies pada era reionisasi ketika alam semesta dini. kredit :M. Alvarez ), R. Kaehler, & T. Abel
Untuk mempelajari galaksi mula-mula jelas sangat sulit. Saat cahayanya mencapai Bumi, mereka tampak begitu lemah, redup dan kecil. Redupnya cahaya tersebut hanya bisa terdeteksi pada panjang gelombang inframerah. Hal ini disebabkan karena panjang gelombangnya telah direntang oleh pengembangan alam semesta – efek yang kemudian kita kenal sebagai pergeseran merah.
Dan yang semakin mempersulit para astronom untuk mengenali cahaya galaksi tersebut adalah kondisi pada alam semesta dini.
Pada masa kurang dari 1 milyar tahun setelah Dentuman Besar, alam semesta belum benar-benar transparan karena sebagian besar masih terisi kabut hidrogen yang menyerap sinar ultraungu dari galaksi muda. Ketika itu, alam semesta sedang mengalami masa tenang setelah Dentuman Besar 13,7 milyar tahun lalu.
Di masa tenang tersebut, elektron dan proton bergabung menjadi gas hidrogen. Gas dingin ini merupakan unsur pokok yang mengisi alam semesta di masa yang dikenal sebagai masa kegelapan. Masa ketika tidak ada obyek yang cerlang. Fasa ini berakhir ketika bintang pertama terbentuk dan radiasi ultra ungu yang intens dari bintang baru inilah yang kemudian membersihkan kabut hidrogen dan menjadikan alam semesta transparan. Caranya, atom hidrogen itu dipisahkan kembali menjadi proton dan elektron yang prosesnya kemudian dikenal sebagai masa reionisasi. Epoch pada sejarah awal alam semesta ini merentang dari 150 juta – 800 juta tahun setelah Dentuman Besar. Untuk bisa memahami bagaimana proses reionisasi terjadi dan pembentukan galaksi awal serta evolusinya merupakan salah satu tantangan terbesar dalam kosmologi modern.
Pengamatan Ke Masa Lalu Yang Penuh Tantangan
Meskipun tantangannya cukup sulit, Kamera Medan Luas 3 (Wide Field Camera 3) yang baru pada NASA/ESA Hubble Space Telescope berhasil menemukan kandidat obyek yang diperkirakan merupakan galaksi yang bersinar pada masa reionisasi pada tahun 2009.  Masalahnya, untuk bisa menentukan jarak obyek yang demikian lemah dan jauh merupakan tantangan yang sangat sulit dan hanya bisa dilakukan dengan spektrokopik menggunakan teleskop landas bumi yang sangat besar untuk mengukur pergeseran merah cahaya galaksi.
Pengamatan untuk melakukan konfirmasi kandidat galaksi yang dinamai UDFy-38135539  dilakukan dengan VLT selama 16 jam. Dan setelah melakukan analisa selama 2 bulan, tim astronom pun meyakini kalau galaksi yang dideteksi ini berasal dari hidrogen dengan pergeseran merah 8,6. Dengan demikian galaksi UDFy-38135539 merupakan obyek terjauh yang pernah diamati dan dikonfirmasikan keberadaannya dengan pengamatan spektroskopik.
Pergeseran merah 8,6 ini menunjukkan kalau si galaksi yang terlihat tampak oleh pengamat di Bumi  keika Dentuman Besar baru terjadi 600 juta tahun sebelumnya.
Yang menarik dari penemuan UDFy-38135539 adalah, sinar dari galaksi UDFy-38135539 tampaknya tidak terlalu kuat untuk membersihkan kabut hidrogen seorang diri. Pastinya ada galaksi lain yang juga berperan membersihkan kabut hidrogen dan membuat area di sekitar galaksi jadi transparan. Diperkirakan galaksi lain itu merupakan tetangga UDFy-38135539  yang jauh lebih redup dan kurang masif. Tanpa adanya bantuan dari galaksi lain untuk membersihkan kabut, jelas galaksi UDFy-38135539 masih akan terperangkap dalam kabut hidrogen dan pengamat di Bumi tak kan pernah bisa melihatnya.
Sumber : ESO

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

KOMET YANG MENUJU MATAHARI

Sebuah komet yang baru saja ditemukan oleh pemburu komet asal China Bo Zhou pada tanggal 19 Oktober 2010 dalam citra yang diambil coronagraph SOHO, tampak sedang menyelam menuju Matahari. Sundiving comet, itulah julukan untuk komet yang bergerak menuju Matahari. Artinya dia akan bergerak dan menabrakan ( “menyemplungkan” ) dirinya ke Matahari. Ups. Dan tampaknya jika ini terjadi komet ini tidak akan bisa selamat dan yang tersisa hanya puin jika masih ada.
Inilah yang terjadi dengan komet yang ditemukan Bo Zhou. Ia terlihat sedang menuju Matahari. Saat ini si komet memang masih redup, namun segera ia akan semakin cerlang kala ia mengalami pemanasan dari Matahari.
Untuk melihat pergerakan komet tersebut, silahkan dinikmati pada cuplikan foto dan animasi berikut. Tunggu berita selanjutnya, yang akan terus diperbaharui jika ada pembaharuan di laman ini.
Komet yang sedang menuju kematiannya. kredit : SOHO
Animasi pergerakan komet. Kredit : Spaceweather / SOHO

sumber : spaceweather , 3D Sun

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

BEGINI CARA KERJA BINTANG – BAGIAN 3: REAKSI NUKLIR DI DALAM BINTANG

Pada bagian pertama kita telah mengetahui perihal kestabilan bintang yang ditopang oleh gaya tekanan radiasi dan gaya radiasi. Selanjutnya, pada bagian kedua, kita mengikuti proses olah pikir yang menyimpulkan bahwa energi radiasi dihasilkan dari proses radioaktif dan bahwa pengamatan spektrum cahaya Matahari sepanjang abad ke-19 menunjukkan bahwa Matahari penuh dengan Hidrogen.
Norman Lockyer menemukan unsur misterius pada Matahari, unsur yang tidak ditemukan di Bumi
Pada tahun 1868, secara hampir bersamaan, astronom Perancis Pierre Janssen dan astronom Inggris Norman Lockyer mengamati adanya unsur misterius pada Matahari. Sebuah unsur yang tidak ditemukan di Bumi. Lockyer kemudian menamai unsur misterius iniHelium, dari kata Bahasa Yunani “Helios” yang berarti Matahari.
Baru sekitar 30 tahun kemudian pada tahun 1895, kimiawan Skotlandia, William Ramsay secara tak sengaja menemukan gas Helium di Bumi. Ramsay membakar asam belerang untuk mencari Argon, namun setelah memisahkan gas Nitrogen dan Oksigen yang tercipta dari hasil pembakaran tersebut, Ramsay melihat adanya spektrum unsur misterius Helium tersebut. Bersama-sama, Hidrogen dan Helium pada umumnya adalah dua unsur paling berlimpah dalam sebuah bintang. Matahari kita, misalnya, mengandung 34% Hidrogen dan 64% Helium, dan 2% adalah gabungan unsur lain-lainnya.
Rahasia berabad-abad tentang penyusun dasar Matahari telah terjawab. Ketika astronom mengarahkan spektroskopnya ke arah bintang-bintang lain, terkuaklah misteri lain tentang hakikat bintang: spektrum bintang ternyata sama dengan Matahari! Dengan kata lain, Matahari adalah bintang yang letaknya sangat dekat dengan kita. Bintang dan Matahari adalah objek yang sama namun jarak bintang jauh lebih besar daripada jarak Bumi kita menuju Matahari. Besarnya peran spektroskopi dalam menguak rahasia alam ini kemudian dikenang dengan memparodikan teks lagu Bintang Kecil dalam Bahasa Inggris:
Twinkle Twinkle little star,
I don’t wonder what you are;
For by spectroscopic ken,
I know that you’re hydrogen;
Twinkle Twinkle little star,
I don’t wonder what you are.
Kenapa Matahari dan bintang dapat bersinar? Dari mana energinya? Penelitian pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 mengenai hakikat atom dan radioaktivitas menyimpulkan bahwa reaksi nuklirlah yang membangkitkan energi Matahari. Pada bagian kedua, kita telah melihat bahwa Hidrogen yang jumlahnya berlimpah di dalam Matahari dapat melangsungkan reaksi nuklir hingga milyaran tahun. Seperti bagaimanakah reaksi nuklir ini?
Reaksi fusi dapat terjadi dalam kondisi yang teramat ekstrim, dan telah diperkirakan bahwa inti Matahari cukup ekstrim untuk dapat melangsungkan reaksi tersebut. Sebagaimana kita ketahui, suhu pada inti Matahari berkisar 15 juta Kelvin. Dalam teori dinamika gas, suhu suatu gas menyatakan energi kinetik yang terkandung dalam gas tersebut, akibat gerakan-gerakan atom dari gas tersebut. Suhu yang amat tinggi dalam suatu gas menyatakan gerakan atom yang amat luar biasa. Tekanan yang amat tinggi juga dapat menyatakan kerapatan dari gas tersebut. Semakin rapat suatu gas, semakin dekat jarak antar nukleus atom satu sama lain.
Agar dapat terjadi reaksi fusi, sebuah nukleus harus memiliki energi yang lebih besar daripada potensial penghalang pada jarak kritis 10^{-15} meter, agar gaya nuklir kuat dapat mengalahkan gaya listrik.
Untuk memicu adanya reaksi fusi, dua buah atom harus dapat mengatasi gaya tolak antara keduanya. Inti atom memiliki muatan positif yang saling tolak-menolak apabila bertemu muatan sejenis. Akibatnya, dua buah atom Hidrogen yang dipertemukan akan saling menolak. Gaya tolak ini akan semakin besar apabila jaraknya semakin dekat. Namun apabila jarak antara dua atom ini sangat dekat maka gaya tarik yang disebut gaya nuklir kuat dapat mengatasi gaya tolak-menolak antara kedua nukleus, mengikat kedua inti Hidrogen dan membentuk Helium. Berapa jarak minimal yang harus dicapai dua atom Hidrogen agar dapat melebur menjadi Helium?
Dengan berbekal pengetahuan fisika nuklir, Fritz Houtermans mencoba menjawab pertanyaan ini. Ia lahir di Zoppod, sebuah kota kecil di dekat Danzig di Jerman Baltik (kini bernama Gdansk dan berada di Polandia). Pada tahun 1920an ia bekerja sebagai peneliti di Gottingen, Jerman, dan bekerjasama dengan peneliti Inggris bernama Robert d’Escourt Atkinson untuk menjelaskan reaksi nuklir dalam Matahari. Bersama-sama, mereka menghitung bahwa jarak minimal yang harus dicapai kedua atom adalah 10^{-15} meter atau satu per satu trilyun milimeter(!) Mereka yakin bahwa kerapatan gas di pusat Matahari sangat tinggi sehingga jarak antar atom akan sangat dekat, dan terlebih lagi energi kinetiknya akan sangat tinggi sehingga gerakan mereka akan sangat cepat. Besar kemungkinan akan ada atom-atom yang dapat mencapai jarak sekecil ini dan memicu reaksi nuklir. Hasil perhitungan mereka dipublikasikan dalam jurnal ilmiah Zeitschrift für Physik pada tahun 1929. Begitu senangnya Houtermans dengan hasil perhitungan mereka, sehingga sorenya ia membanggakan hasil penemuannya pada gadis yang dikencaninya. Malam itu, bintang-bintang bersinar terang dan pacarnya berkata, “cantik sekali ya sinar bintang-bintang itu?” Houtermans menjawab, “Sejak kemarin aku sudah tahu apa yang menyebabkan mereka bersinar.” Charlotte Riefenstahl, gadis itu, dengan terkagum-kagum kemudian menikahinya.
Houtermans boleh berbangga diri, namun masih ada problem dengan temuannya mengenai jarak minimal yang dapat memicu reaksi fusi. Pada jarak kritis ini, besarnya energi potensial yang ditimbulkan kedua atom adalah sekitar 1000 kilo elektron Volt. Apabila sebuah atom yang telah mencapai jarak kritis ini tidak memiliki energi yang lebih besar daripada energi ini, maka peleburan tidak akan terjadi. Jadi ada semacam “dinding” potensial yang harus ditembus sebuah atom Hidrogen apabila ia ingin melebur dengan atom Hidrogen lain. Namun, setiap atom Hidrogen rata-rata hanya memiliki energi sebesar 1 keV, 1000 kali lebih kecil daripada energi kritis yang harus ditembus. Menurut statistik, sebagian kecil partikel memiliki energi yang sama atau bahkan jauh lebih besar daripada energi kritis ini. Akan tetapi, jumlah partikel yang berenergi tinggi ini sangatlah kecil sehingga reaksi nuklir yang terjadi tidak akan cukup besar untuk dapat berlangsung selama milyaran tahun. Bagaimanakah kita menjawab problem ini?
Teori Kuantum menyelamatkan problem ini dengan menawarkan cara pandang yang berbeda dalam fisika. Apabila fisika abad ke-18 begitu deterministik dengan mengatakan bahwa posisi sebuah partikel dapat kita ketahui dari waktu-ke-waktu, maka teori kuantum mengatakan bahwa kita hanya dapat mengetahui peluang menemukan sebuah partikel pada lokasi tertentu. Pada skala kecil dalam dunia partikel, posisi sebuah partikel sama sekali tidak pasti. Ia dapat berada di mana saja dan yang dapat kita tentukan hanyalah kebolehjadian bahwa ia akan berada di suatu lokasi. Dengan berbekal cara pandang ini, fisikawan kelahiran Ukraina, George Gamow, menyelesaikan problem halangan potensial ini melalui fenomena yang disebutnya “efek terowongan kuantum.” Melalui perspektif fisika kuantum, kita dapat menghitung peluang untuk dapat menemukan sebuah partikel berada di dalam jarak kritis tersebut, dan dengan demikian dapat melebur dan memulai reaksi nuklir. Peluang ini semakin meningkat dengan semakin tingginya energi partikel tersebut, dan dengan membandingkannya dengan distribusi energi suatu kumpulan partikel, dapat dihitung rentang energi di mana reaksi nuklir paling mungkin terjadi. Perubahan cara pandang ini memungkinkan kita menyelesaikan problem pembangkitan energi di dalam bintang. Gamow, fisikawan Uni Soviet yang kemudian melarikan diri ke Amerika Serikat, memikirkan efek terowongan untuk menjelaskan fenomena peluruhan dalam perspektif fisika kuantum. Namun kemudian diketahui bahwa efek terowongan ini juga berlaku secara umum dan dapat digunakan pula untuk menjelaskan fenomena sebaliknya yaitu bergabungnya inti-inti atom.
Hans Bethe pindah ke Amerika Serikat pada tahun 1935 dan kemudian memimpin Divisi Teoritis di Laboratorium Los Alamos
Pekerjaan Houtermans tentang reaksi nuklir dalam bintang kemudian dilanjutkan oleh Hans Bethe. Lahir di Straßburg, Jerman (kemudian menjadi Strasbourg dan masuk ke wilayah Perancis) pada tahun 1906, Bethe memperoleh gelar Doktornya dari Universitas Muenchen, Jerman, di bawah bimbingan Arnold Sommerfeld. Setelah bekerja di Cambridge dan di Roma bersama Enrico Fermi, Bethe mengajar di Universitas Tübingen hingga tahun 1933. Saat itu Partai Nazi berkuasa dan Bethe dipecat dari pekerjaannya karena ibunya orang Yahudi. Bethe pindah ke Inggris dan pada tahun 1935 pindah ke Amerika Serikat. Bersama banyak fisikawan nuklir lainnya, Bethe kemudian bekerja mengembangkan bom atom di Laboratorium Los Alamos, dan memimpin Divisi Teoritis.
Bidang kerja Bethe mengenai fisika nuklir memungkinkannya mengidentifikasi jalur-jalur reaksi fusi yang memungkinkan terciptanya inti Helium yang stabil. Atom sebuah unsur memiliki bermacam-macam jenis yang disebut isotop. Yang membedakan isotop sebuah unsur dengan yang lain adalah jumlah neutron yang terkandung di dalam nukleusnya.Hidrogen netral atau Protium, misalnya, memiliki 1 proton dan 1 elektron.Deuterium, salah satu isotop Hidrogen, memiliki tambahan 1 neutron dan relatif stabil. Helium-3 danHelium-4 adalah dua dari 8 isotop atom Helium yang stabil, masing-masing memiliki 1 dan 2 neutron pada intinya. Houtermans mengharapkan bahwa reaksi fusi dalam bintang terjadi melalui penggabungan dua inti Hidrogen netral menjadi Diproton, isotop Helium yang sangat ringan dan tak stabil. Dua buah neutron dibutuhkan untuk menciptakan isotop Helium yang stabil, namun pada saat Houtermans dan Atkinson menulis makalah mereka pada tahun 1929, keberadaan neutron masih merupakan hipotesis. Akibatnya perhitungan Houtermans belumlah lengkap.
Pada saat Bethe melanjutkan pekerjaan Houtermans, gambaran kita mengenai dunia atom sudah lebih lengkap. Dua buah atom Hidrogen netral dapat melebur terlebih dahulu untuk membentuk Deuterium. Selanjutnya, Bethe melihat Deuterium ini dapat menangkap 1 atom Hidrogen netral lain untuk membentuk Helium-3 yang relatif cukup stabil. Dua buah Helium-3 ini kemudian dapat melebur untuk membentuk Helium-4 yang lebih stabil dan nonradioaktif. Sebagai produk samping, dua buah atom Hidrogen akan dilepaskan. Reaksi ini kemudian dikenal dengan Reaksi Proton-Proton atau Reaksi PP, karena semuanya berawal dari dua buah Proton yang melebur.
Reaksi Proton-Proton. Dua buah atom Hidrogen akan membentuk Deuterium, selanjutnya Deuterium ini akan menangkap Hidrogen netral untuk membentuk Helium-3, dan Helium-3 akan menangkap Helium-3 lain untuk menghasilkan Helium-4. Dua buah atom Hidrogen netral akan dilepaskan sebagai produk samping.
Reaksi Proton-Proton masih dapat dilanjutkan menjadi Reaksi PP-II. Helium-3 dan Helium-4 dapat melebur untuk membentuk Berilium-7 yang dapat menangkap sebuah elektron untuk menjadi Litium-7 yang stabil. Selanjutnya Litium-7 dapat menangkap sebuah atom Hidrogen dan berubah menjadi 2 buah atom Helium-4. Ini terjadi bila suhu inti berkisar antara 14 hingga 23 Juta Kelvin. Pada suhu inti di atas 23 Kelvin, terjadi reaksi PP-III: Berilium-7 akan menangkap Hidrogen netral dan berubah menjadi Boron-8. Karena Boron-8 tak stabil, ia akan meluruh menjadi Berilium-8, yang pada gilirannya akan meluruh menjadi 2 buah atom Helium.
Selain Reaksi PP, Bethe juga mengusulkan rute lain untuk menciptakan rute lain yang menggunakan atomKarbon sebagai pemicu yang berfungsi menangkap atom Hidrogen. Bila di dalam inti Matahari terdapat Karbon-12, maka setiap inti Karbon-12 akan dapat menangkap Hidrogen untuk membentuk inti atom-atom yang lebih berat, yaitu berturut-turut Nitrogen dan Oksigen. Nitrogen-15 (lihat gambar) tidak stabil sifatnya dan akan melebur kembali menjadi Karbon-12 dan akan kembali menangkap sebuah atom Hidrogen untuk memulai siklus ini kembali ke awal. Karena reaksi rantai ini membentuk sebuah siklus, maka rangkaian reaksi ini dinamakan Siklus atau Daur Karbon.
Daur Karbon yang diusulkan Bethe dan Carl von Weizsäcker
Pada awalnya dua reaksi nuklir ini masih bersifat spekulasi. Fisikawan-fisikawan lain kemudian memeriksa perhitungan-perhitungan Bethe dan memastikan bahwa reaksi ini dapat terjadi apabila kondisinya tepat.
Hans Bethe dan Siklus Karbon. Foto ini diambil di Universitas Cornell pada tahun 1996, saat Bethe berusia 90 tahun. Kredit foto: Michael Okoniewski
Pada tahun 1940an jelaslah bahwa reaksi-reaksi inti ini memang benar-benar terjadi di dalam “tungku” Matahari. Pengamatan spektrum matahari lagi-lagi menjadi kunci karena kelimpahan unsur-unsur kimia yang dihasilkan dari reaksi-reaksi ini dapat dikonfirmasi melalui spektroskopi Matahari. Atas jasa-jasa Bethe mengidentifikasi produksi energi bintang-bintang, ia diganjarHadiah Nobel pada tahun 1967.
Setelah melihat bentuk Reaksi PP maupun Siklus Karbon, kita mungkin dapat melihat bahwa reaksi ini pada intinya mengubah Hidrogen menjadi Helium. Perlahan tapi pasti, Hidrogen berubah bentuk menjadi Helium dan dapat habis. Pada akhirnya, apabila sebuah bintang tak dapat lagi membakar Hidrogen menjadi Helium, maka cara lain untuk membangkitkan energi yang dapat mengimbangi tekanan gravitasi harus terjadi. Apabila tidak ada, maka bintang tak akan sanggup menahan tekanan gravitasi dan akan runtuh. Apakah masih ada cara lain?
Dua buah atom Helium-4 dapat bergabung untuk membentuk Berilium-8, yang pada gilirannya dapat menangkap sebuah atom Helium-4 lain untuk menjadi Karbon-12. Reaksi ini sangat penting perannya karena merupakan satu-satunya reaksi nuklir yang dapat menciptakan unsur Karbon dalam jumlah signifikan di jagad raya ini. Namun banyak problem yang menghambat reaksi ini dapat terjadi. Reaksi ini hanya dapat terjadi pada suhu yang ekstrim tinggi, yaitu pada suhu 100 Juta Kelvin. Syarat lain untuk dapat terjadi adalah apabila terdapat atom Helium-4 dalam jumlah besar. Masalah berikutnya adalah Berilium-8 merupakan atom yang sangat tak stabil dan hanya mampu bertahan dalam waktu kurang dari 10^{-18} detik atau hanya satu per milyar milyar detik, amat sangat singkat! Hampir tak mungkin Berilium-8—sebelum peluruhannya —dapat menangkap Helium-4 terdekat untuk berubah menjadi Karbon-12. Bahkan bila ini dapat terjadi pun, masih ada rintangan lain yang harus dihadapi.
Reaksi Triple Alpha yang diciptakan oleh Fred Hoyle
Fred Hoyle (1915--2001), astrofisikawan Inggris yang sangat kontroversial.
Massa gabungan Helium-4 dengan Berilium-8 lebih besar daripada massa Karbon-12, jadi apabila kedua atom dapat bergabung sekalipun, akan ada kelebihan massa yang harus dibuang. Tentu saja kelebihan massa ini akan diubah menjadi energi melalui persamaan E = mc^2, namun semakin besar perbedaan massanya maka waktu reaksinya akan semakin lama dan Berilium-8, yang waktu peluruhannya sangat cepat, tidak punya waktu untuk menunggu reaksi ini selesai. Karbon-12 harus terbentuk dengan segera karena usia Berilium-8 teramat sangat pendek.
Karbon adalah unsur paling berlimpah di alam semesta setelah Hidrogen, Helium, dan Oksigen. Fisikawan George Gamow dan mahasiswa bimbingannya,Ralph Alpher, menemukan bahwa dalam waktu beberapa menit sesudah big bang terjadi, alam semesta terdiri atas 75% Hidrogen dan 25% Helium, namun unsur-unsur yang lebih berat dari itu tidak tercipta karena alam semesta keburu mendingin sebelum terjadi reaksi fusi yang memungkinkan terjadinya pembentukan unsur-unsur berat. Namun kenyataannya, di Bumi ini kita menemukan unsur-unsur berat, mulai dari Hidrogen, Helium, Litium, hingga Uranium, Plutonium, dan seterusnya. Di Bumi kita, elemen-elemen berat seperti Silikon, Aluminium, Besi, adalah unsur-unsur paling berlimpah. Tubuh manusia mengandung 18.5% Karbon dan kita mengetahui Karbon adalah unsur yang selalu hadir dalam hampir segala bentuk kehidupan. Menjawab pertanyaan mengenai asal-usul unsur berat ini sama artinya dengan menjawab sebagian pertanyaan mengenai asal-usul kehidupan, sebuah pertanyaan yang terus-menerus ditanyakan peradaban manusia.
Untuk menjelaskan pembentukan unsur-unsur berat di alam semesta inilah, Fred Hoyle, astrofisikawan Inggris, menciptakan reaksi Triple-Alpha. Ia menemukan bahwa satu-satunya cara untuk menciptakan Karbon adalah melalui reaksi nuklir di alam inti bintang yang luar biasa panas dan penuh dengan Helium. Namun reaksi ini pun, bila dapat terjadi, amat bermasalah. Pertama, Berilium-8 teramat tidak stabil dan tak dapat bertahan lama. Kedua, perubahan Helium dan Berilium menjadi Karbon membutuhkan waktu yang cukup signifikan karena adanya perbedaan massa yang besar. Nampaknya tidak ada solusi atas situasi ini, namun Hoyle mampu menyelesaikannya dengan brilian. Proses olah pikir Hoyle dalam menjawab masalah ini akan menjadi topik berikutnya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

KOMET HARTLEY 2 DARI BANDAR LAMPUNG

Tanggal 20 Oktober 2010, komet 103P/ Hartley 2 akan melintas cukup dekat dengan Bumi pada jarak 0,12 SA. Pada saat inilah kesempatan bagi para pengamat langit untuk menikmati komet yang satu ini. Kendalanya adalah sinar Bulan yang berada pada fasa jelang purnama sehingga akan membuat langit menjadi terang.
Pada tanggal 11 Oktober 2010 dini hari, komet Hartley 2 terlihat dari Bandar Lampung dan berhasil dipotret dengan menggunakan Canon 350d, lensa 100-300mm f/5.6. ISO1600.
Komet Hartley 2 yang dipotret dari Bandar Lampung. Foto : Jeff Teng
Pada saat pengamatan, magnitudo komet sekitar 5.8, sehingga tidak dapat terlihat dengan kasat mata. Bahkan dengan Binokular 7×35 juga tidak terlihat karena batas magnitudo pengamatan hanya sekitar 3.7 ( lokasi pengamatan terpengaruh polusi cahaya). Dalam foto yang diambil, komet hanya terlihat seperti sebuah lingkaran biru kehijauan, dan belum ada ekornya. Posisi komet mudah dicari dengan menggunakan data ephemeris yg telah dimasukkan ke Stellarium.
Semoga langit cerah sampai tanggal 20 =).

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

HUJAN METEOR ORIONID 2010

Di penghujung bulan Oktober 2010, di antara hujan yang kadang kala mengguyur kota atau langit yang senantiasa dihiasi awan, masyarakat Indonesia bisa menyaksikan peristiwa hujan meteor Orionids yang terjadi setiap tahun kala Bumi melintasi sisa debu ekor Komet Halley.
Kilatan meteor yang melintas tersebut dapat dilihat pada tanggal 15 Oktober – 29 Oktober dari rasi Orion si pemburu. Puncak hujan meteor ini akan terjadi pada tanggal 21 Oktober 2010.
Hujan meteor Orionid dengan radian dari Rasi Orion. Kredit : StarWalk
Pada malam puncak hujan meteor tersebut, Rasi Orion akan terbit pada pukul 21.00 wib sehingga waktu terbaik untuk melakukan pengamatan hujan meteor Orionid yang radiannya tampak dari rasi Orion ini adalah setelah lewat tengah malam.  Untuk pengamat di langit selatan, diperkirakan meteor yang akan tampak sekitar 40 meteor per jam.
Pada tanggal 20 Oktober 2010,  jika anda memiliki teleskop, anda juga bisa menikmati komet 103P/Hartley 2 yang sedang melintas cukup dekat dengan Bumi pada jarak 0,12 SA. Kendalanya, pada tanggal 21 Oktober tersebut, bulan akan memasuki fasa purnama sehingga ia masih bersinar sangat terang di langit. Selain itu jika anda berada di perkotaan jelas polusi cahaya akan menambah masalah lainnya.
Hujan Meteor Orionid. kredit StarWalk
Di malam yang sama, Jupiter juga akan tampak indah bertengger di langit bersama ke-4 satelit Galileannya (Io, Europa, Ganymede, Calisto). ? Bagi yang ingin menikmati indahnya malam bisa juga memasang teleskop untuk melihat Jupiter dan ke-4 satelitnya ini.  Sedangkan untuk pengamatan hujan meteor tidak diperlukan alat apapun, cukup menggunakan mata tanpa alat bantu dan siapkan juga peta bintang untuk melacak keberadaan Orion sang pemburu.
Jupiter pada tanggal 21 Oktober bersama ke-4 satelit galileannya. kredit : Stellarium
Selamat berburu meteor ! Clear Sky !

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS