Wujud Tata Surya Kita Di Mata ALIEN

Astronom kini berada pada awal era mendeteksi dan mendapatkan citra sistem keplanetan di luar tata surya, seperti misalnya sistem yang mengedar bintang Fomalhaut. Bagaimana jika sebaliknya, astronom alien yang mencari planet lain di luar tempat tinggalnya, akan seperti apa Tata Surya kita ini terlihat?

Marc J. Kuchner dari NASA Goddard Space Flight Center dan Christopher C. Stark dari Departemen Fisika Universitas Maryland memodelkan struktur tiga dimensi debu-debu Sabuk Kuiper. Dalam model baru itu mereka mensimulasikan 25 ukuran debu yang berlainan serta menggabungkan interaksi planet-debu dan tumbukan antar- debu. Dengan simulasi tersebut mereka bisa mengetahui bagaimana wujud Sabuk Kuiper saat Tata Surya kita ini masih berusia sangat muda dan bagaimana perubahan strukturnya dari waktu ke waktu terlihat.

Sabuk Kuiper merupakan daerah di luar orbit planet Neptunus yang mengandung jutaan benda-benda es yang mengorbit Matahari. Objek-objek Sabuk Kuiper adakalanya saling bertumbukan dan menghasilkan butiran-butiran lembut. Akan tetapi tidaklah gampang bagi debu ini untuk bisa mengembara ke penjuru Tata Surya karena partikel-partikel kecil didera berbagai gaya selain tarikan gravitasi dari matahari dan planet-planet. Nah, diyakini bahwa Sabuk Kuiper ini merupakan versi tua dan tipis dari piringan debu yang terlihat di sekitar bintang Fomalhaut dan Vega.

Debu-debu di Kuiper Belt ini dipengaruhi oleh angin matahari, yang membawanya lebih dekat ke arah matahari, dan sinar matahari, yang bisa menarik debu mendekati matahari ataupun mendorong menjauhi Matahari. Kemana persisnya tergantung pada ukuran buliran debu. Antara buliran-buliran debu itu sendiri juga saling bertumbukan. Buliran-buliran yang rapuh akan hancur akibatnya.



Wujud Kuiper Belt dari waktu ke waktu jika dilihat dari jauh dan dalam panjang gelombang inframerah berdasarkan simulasi Kuchner dan Stark, yakni Tata Surya di masa kini hingga saat masih berusia 15 juta tahun (Credit: NASA/GSFC/Marc Kuchner and Christopher Stark)
Dengan bantuan superkomputer Discover milik NASA, Kuchner dan Stark mengikuti jejak 75000 partikel debu-simulasi saat mereka berinteraksi dengan planet-planet luar, cahaya matahari, dan angin matahari, serta antar- partikel debu itu sendiri. Partikel-partikel itu berukuran antara sebesar lubang jarum (sekitar 1,2 milimeter) hingga seperseribunya atau kira-kira sebesar partikel asap.


Selama simulasi, partikel-partikel tersebut diletakkan pada salah satu dari tiga tipe orbit yang sudah diketahui saat ini dengan kecepatan berdasarkan hasil penelitian terkini mengenai seberapa cepat debu dihasilkan. Dengan efek gravitasinya, Neptunus menggiring partikel- partikel tersebut menuju orbit tertentu. Itu sebabnya mengapa terdapat zona kosong di dekat planet tersebut. Rupanya hingga kini pun tumbukan memainkan peranan penting dalam membentuk struktur Sabuk Kuiper. Tumbukan cenderung menghancurkan partikel-partikel berukuran besar sebelum sempat berkeluyuran terlampau jauh dari tempat mereka terbentuk.

Bagaimana dengan wajah Sabuk Kuiper di masa lampau yang jauh sekali? Kuchner dan Stark menyimulasikannya dengan mempercepat kecepatan pembentukan debu. Di masa lampau Sabuk Kuiper berisi lebih banyak objek yang saling bertumbukan. Dan tumbukan itu lebih sering terjadi. Akibatnya, debu terbentuk lebh cepat. Dengan makin banyaknya partikel debu, makin sering pula terjadi tumbukan antar-debu. Ini seperti halnya memasukkan sepuluh anak yang berlarian di dalam ruang kelas. Kemungkinan mereka saling bertumbukan akan kecil. Lain halnya jika didalam kelas dimasukkan 50 anak yang berlarian sesuka hati. Karena dominannya peran tumbukan ini, kemungkinan buliran debu yang berukuran besar keluar dari Sabuk Kuiper akan semakin kecil. Jika dirunut balik, piringan debu masa kini yang luas mengempis menjadi cincin terang dan rapat seperti yang terlihat mengitari bintang lain, seperti misalnya Fomalhaut.

Dari hasil simulasi, mereka menciptakan citra yang menggambarkan Tata Surya jika dideteksi dalam gelombang inframerah dari jarak yang sangat jauh. Demikianlah kira-kira bagaimana wujud Tata Surya seandainya dilihat oleh alien yang berada jauh sekali dan tengah mencari- cari planet lain. Mungkin planet akan tampak terlampau redup untuk dideteksi secara langsung. Namun alien itu bisa menentukan keberadaan planet Neptunus dengan mudah, yakni dengan melihat adanya celah di piringan debu. Gravitasi Neptunus lah yang telah mengukir celah tersebut.

Para peneliti tersebut berharap bahwa model yang mereka kembangkan akan membantu dalam mengenali planet-planet seukuran Neptunus yang mengedari bintang-bintang lainnya. Langkah lain yang selanjutnya ingin dikerjakan adalah menyimulasikan piringan debu Fomalhaut dan bintang lain untuk mengetahui keberadaan planet dengan melihat distribusi debunya. Para peneliti itu juga berencana mengembangkan model untuk memunculkan gambaran komplit piringan debu Tata Surya dengan menambah sumber-sumber debu yang letaknya lebih dekat ke matahari, termasuk sabuk asteroid yang terletak antara orbit Mars dan Jupiter dan ribuan asteroid Trojan yang dihimpun oleh gravitasi Jupiter.

Sumber: NASA Goddard Space Flight Center

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Kajian Kimiawi Pada Kandungan Uap Air di Bulan

Apakah Bulan yang selama ini dikenal tanpa kehidupan dan kering, benar-benar sebagaimana itu adanya?

skematik bulan dan pemetaan kimiawi. kredit : ISRO/NASA/JPL-Caltech/Brown University/USGS
Ternyata, kajian terkini yang dilakukan sekelompok peneliti astronomi dari China menunjukkan bahwa Bulan mempunyai kandungan uap air. Dalam bahasa paling awam, ada air di Bulan.
Tetapi, janganlah kemudian disalah artikan, bahwa di Bulan ada kolam atau laut dengan air yang melimpah ruah. Tidak akan pernah kita temukan air dalam bentuk cair. Kandungan uap air disini juga bukanlah penanda adanya kehidupan. Alih-alih, keberadaan air disini lebih merupakan penghalang pengoperasian pengamatan astronomi. Pada tahun 2013, China berencana untuk membangun observatorium yang bisa mengamati informasi pada panjang gelombang ungu-ultra di permukaan Bulan, karena pengamatan ungu-ultra hanya bisa dilakukan pada wilayah yang hampa udara; sedangkan uap air di permukaan Bumi menyerap cahaya ungu-ultra.
Jadi, lebih memungkinkan untuk pengamatan ungu-ultra mempergunakan wahana antariksa yang mengorbit Bumi, atau di permukaan Bulan. Akan tetapi, ternyata, pengamatan dari Survei Kimia wahana Chandrayaan-1 milik India mendeteksi adanya uap air di permukaan Bulan (berwarna biru pada gambar).
Kebanyakan uap air pada lapisan luar Bulan akan dipecah oleh radiasi ungu-ultra matahari menjadi molekul hidroxil (OH) dan Hidrogen, yang menghamburkan cahaya ungu-ultra, menyebabkan perubahan warna pada gambar tersebut. Penemuan ini menggambarkan bahwa pengamatan ungu-ultra tidak akan mungkin dilakukan dari permukaan Bulan; tetapi lebih penting bahwa hasil tersebut memberikan gambaran pemahaman pada kajian fenomena ionosfer Bulan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS