Hubble dan Rosetta Mengungkap Tabrakan Asteroid P/2010 A2

Hasil citra resolusi tinggi yang diambil Teleskop Hubble dan hasil pengamatan Rosetta dengan menggunakan kamera OSIRIS memberikan sudut pandang dengan perspektif yang cukup unik sehingga berhasil memberikan gambaran yang komprehensif dari P/2010 A2, sebuah obyek penuh teka teki di sabuk Asteroid.
Walau penampakannya mirip seperti komet, namun obyek ini memiliki jejak yang tersebar dan dinyatakan sebagai sisa tabrakan asteroid yang terjadi sekitar 1,5 tahun lalu.  Citra yang dihasilkan oleh Hubble dan Rosetta inilah yang memberi gambaran utuh kapan tabrakan di sabuk Asteroid itu terjadi.

Asteroid serupa komet P/2010 A2. Kredit :NASA, ESA, and D. Jewitt (University of California, Los Angeles). Photo No. STScI-2010-07
Tabrakan di Asteroid
Sejenak mari kita telusuri kembali kapan asteroid itu bisa bertabrakan. Inilah hasil penelitian paara ilmuwan di Max Planck Institute for Solar System Research (MPS), Jerman berdasarkan citra yang diambil Hubble dan Rostta. Para peneliti ini berhasil melacak kalau di pertengahan Februari 2009, terjadi tabrakan dua asteroid di area setelah orbit Mars.  Sisa tabrakan inilah yang kemudian menarik perhatian para ilmuwan dunia.  Citra keduanya yang kemudian dikombinasikan dengan simulasi komputasi pada akhirnya berhasil membawa para peneliti untuk merekonstruksi ulang kejadian tersebut disertai waktu kejadiannya dengan tepat.
Di Sabuk Asteroid yang berada di antara Mars dan Jupiter, terdapat jutaan pecahan batuan besar dan kecil yang populasinya kemudian dikenal sebagai Sabuk Asteroid. Dalam perjalanannya mengelilingi Matahari, tentulah terjadi interaksi antara batu-batuan tersebut dan terjadi pula tabrakan. Akan tetapi, luasnya sabuk Asteroid seringkali membuat peristiwa tabrakan seperti ini tidak bisa ditemukan. Sebagian besar tabrakan justru terjadi jutaan tahun lalu, dan ini bisa dilihat dari keberadaan pita berisi sebaran debu yang membentang di angkasa dan sejumlah keluarga asteroid dengan orbit serupa.
Selama ini, informasi tabrakan asteroid hanya bisa didapat dari penelitian pada fosil-fosil yang tersebar atau bisa dikatakan semacam studi khusus untuk paleontologi angkasa.  Belum ada yang bisa melihat langsung peristiwa tersebut.
Ketika 2 asteroid bertemu…
Akhirnya untuk pertama kalinya, para ilmuwan bisa melihat sendiri sisa tabrakan yang baru saja terjadi dan bahkan menelusuri kapan tabrakan itu terjadi.  Asteroid bernama P/2010 A2 itu baru saja bertemu sebuah batuan dengan diameter hanya beberapa meter. Pertemuan itu tentu bukan seperti sepasang manusia yang akan berjalan beriringan. Kedua asteroid ini pun bertabrakan menyisakan serpihan yang masih bisa dilihat langsung oleh para astronom melalui teleskop besar. Peristiwa ini seperti menemukan tubuh dinosaurus yang masih baru mati dan bukannya menelusuri sebuah peristiwa hanya dari fosil yang tersisa.
Pada bulan Januari 2010, para ilmuwan yang bekerja dalam program LINEAR (LIncoln Near-Earth Asteroid Research) berhasil melihat asteroid P/2010 A2 dalam survei rutin untuk mengamati asteroid dekat Bumi (Near Eart Asteroid /NEA). Dari penampakannya, para peneliti awalnya memprediksi kalau obyek yang dilihat itu merupakan bongkahan komet yang selamat dari tabrakan dan kemudian memberi nama berdasarkan cara penamaan komet.
Pengamatan dari perspektif yang berbeda
Untuk bisa memastikan apa sebenarnya obyek yang diamati itu, dibutuhkan perspektif yang tepat untuk melihat. Hal penting yang bisa digunakan dalam penentuan klasifikasi obyek ini bergantung pada bentuk jejak dengan puing debu dan evolusi si obyek.
Lantas, perspektif yang tepat itu seperti apa?
Untuk bisa melihat obyek tersebut, posisi pengamat jelas berada di Bumi dimana orbit Bumi dan asteroid berada hampir pada bidang yang sama. Akibatnya semua citra yang diambil dari Bumi hanya akan menunjukkan proyeksi jejak si obyek.
Asteroid P/2010 A2 yang tampak oleh kamera OSIRIS milik Rosetta. Kredit : ESA - OSIRIS-Team; MPS/UPD/LAM/IAA/RSSD/INTA/UPM/DASP/IDA
Dari sudut pandang seperti ini, jelas sulit untuk melihat panjang dan  bentuk asli obyek tersebut. Hal yang sama juga terjadi pada Teleskop Hubble. Disinilah wahana Rosetta berperan. Lokasinya yang berada jauh di orbit Mars memberi kesempatan pada Rosetta untuk melihat jejak obyek ini di Bulan Maret 2010 dari sudut pandang yang berbeda. Rosetta dan asteroid tersebut berada pada kemiringan yang cukup satu sama lainnya, sehingga bisa memberikan informasi yang berbeda bagi pengamat di Bumi.
Kalau dibandingkan, situasi yang sama terjadi jika kita mengamati kedatangan kereta lokomotif dari depan. Dari perspektif di depan lokomotif, pengamat tidak akan tahu panjang dan bentuk lokomotif tersebut. Tapi, jika pengamat berada di atas si kereta maka ia akan bisa melihat keseluruhan kereta yang diamati tadi.
Rekonstruksi Ulang
Dengan bantuan citra yang dihasilkan Rosetta, pada akhirnya para pengamat di Bumi bisa melihat bentuk 3 dimensi dari jejak tersebut. Dan ternyata jejak tersebut tidak sesuai untuk komet, karena  secara terus menerus memancarkan materi dan kemudian menunjuk pada keberadaan jejak puing-puing akibat tabrakan asteroid.
Setelah dikombinasi dengan citra yang diambil dari Bumi, para peneliti dari Max Planck Institute for Solar System berhasil merekonstruksi kembali jejak tersebut dalam sebuah simulasi. Hasilnya ditemukan kalau tabrakan asteroid yang dilihat itu masih baru dan jejak puing-puing yang ditinggalkannya masih berevolusi.
Ketika para ilmuwan melakukan simulasi untuk menelusuri kembali kejadian tersebut, mereka menemukan kalau tabrakan terjadi pada tanggal 10 February 2010. Tak hanya itu, para peneliti pun bisa mendapatkan pemahaman yang unik dari fasa awal setelah terjadinya tabrakan kedua asteroid tersebut.  Diperkirakan juga tabrakan seperti ini akan terjadi setidaknya satu kali dalam satu dekade.
?Sumber : Max Planck Institute for Solar System Research, Hubble Space Telescope, ESA

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Gl 581 g Disangsikan Keberadaannya

Pekan ini, mulai Senin lalu hingga Jumat besok, Himpunan Astronomi Internasional (IAU – International Astronomical Union) berkumpul di Torino, Italia, membahas astrofisis sistem keplanetan, mulai dari pembentukan, struktur, hingga evolusi dinamisnya. Salah satu topik yang menarik adalah planet Gliese 581 g. Satu tim melaporkan penemuan dua planet lagi yang mengelilingi bintang Gliese 581. Salah satunya, yakni Gliese 581 g, berada di zona laik huni sistem keplanetan itu. Akan tetapi kemudian kesangsian muncul apakah planet ini benar-benar ada. Nah, lho?!

Ilustrasi GJ 581 g
Ilustrasi Gliese 581 g yang mengorbit bintang induknya. Planet e, b, dan c juga diperlihatkan di kejauhan. Kredit: Lynette R. Cook
Masih segar dalam ingatan kita saat akhir bulan lalu astronom dari tim Lick-Carnegie Exoplanet Survey mengumumkan penemuan planet ke-5 dan ke-6 yang mengorbit sebuah bintang bernama Gliese 581. Kedua planet itu berturut-turut Gliese 581 f dan Gliese 581 g. Yang menarik perhatian adalah yang terakhir. Massanya diperkirakan sekitar 3 kali massa Bumi, artinya planet ini berwujud batuan, bukan gas seperti Jupiter. Sebenarnya sebelumnya pun sudah ditemukan planet batuan di sistem keplanetan ini, tetapi planet Gliese 581 ini istimewa lantaran orbitnya tepat berada di dalam zona laik huni bintang katai merah Gliese 581. Temperatur di zona laik huni memungkinkan air (seandainya ada) berada dalam fase cair. Gambaran zona laik huni seperti ini: Venus berada di tepi-dalam zona laik huni Tata Surya. Artinya, Venus terlampau panas supaya air tetap cair dan dimungkinkannya ada kehidupan – kehidupan sepanjang yang kita kenal di Bumi tentunya. Sebaliknya, Mars berada di tepi-luar zona laik huni. Artinya, Mars terlampau dingin. Bumi sangat pas di zona laik huni, tidak terlampau panas tidak juga terlampau dingin.
Tim Lick-Carnegie ini berhasil menemukan si planet setelah memeriksa 122 hasil pengukuran kecepatan radial selama 11 tahun dari perangkat HIRES yang dipasang pada teleskop Keck I di W.M. Keck Observatory di Hawaii. Data ini dikombinasikan dengan 119 pengukuran kecepatan radial dari perangkat HARPS selama 4 tahun yang dipasang pada teleskop milik European Southern Observatory di La Silla, Chile.
zona layak huni
Zona laik huni untuk berbagai macam bintang, sebagai contoh digambarkan zona laik huni untuk Tata Surya. Kredit: Astrobiology Magazine
Penemuan ini tentunya semakin membesarkan hati, khususnya kalangan ahli astrobiologi dan para pemburu planet. Pencarian planet-planet di luar tata surya mengarah pada penemuan “bumi” lain, yang temperaturnya cukupan dan komposisi atmosfernya pas. Ini adalah bagian dari perjalanan panjang menjawab pertanyaan apakah Bumi rumah kita ini satu-satunya planet di angkasa raya yang berpenghuni.
Sanggahan atas Keberadaan si “g”
Pada pertemuan yang sama di Torino Francesco Pepe, astronom dari tim Geneva Observatory, mengemukakan bahwa tim mereka tidak bisa mengkonfirmasi keberadaan Gliese 581 f dan Gliese 581 g. Tim mereka juga menggunakan data dari HARPS.
Tahun lalu, tim dari Geneva Observatory pimpinan Michel Mayor mengumumkan penemuan planet Gliese 581 e. Dengan massa sekitar 1,9 kali massa Bumi, planet e menjadi exoplanet dengan massa terkecil yang ditemukan hingga saat itu. Sekali mengelilingi bintang Gliese 581 planet e ini membutuhkan waktu 3,15 hari. Setelah penemuan itu, menurut Pepe, timnya mengumpulkan 60 poin data lagi dengan menggunakan HARPS dari total 180 poin data dari pengamatan selama 6,5 tahun. Dari data ini mereka dengan mudah mengkonfirmasi keberadaan empat planet yang sudah diumumkan sebelumnya, yakni planet b, c, d, dan e, tapi tidak menemukan keberadaan planet g yang dimaksud tim Lick-Carnegie.
Meski tak diragukan lagi keakuratan perangkat yang digunakan serta banyaknya poin data, Pepe mengatakan amplitudo sinyal dari “sesuatu” yang potensial merupakan planet g ini sangat lemah dan pada dasarnya sinyal sulit dibedakan dari derau. Kemungkinan sinyal itu hasil dari derau tidak bisa diabaikan, hanya beberapa persen. Dengan dasar itu tim Pepe tidak bisa mengkonfirmasi keberadaan Gliese 581 g. Tim ini juga mempertanyakan Gliese 581 f. Kendati belum melakukan anasilis mendetail, secara statistik tidak ada sinyal yang signifikan untuk bisa disimpulkan adanya planet “f” dari set data HARPS yang diolah tim Geneva Observatory.
Nah, sistem ini semakin menarik dan menggugah rasa ingin tahu. Inilah uniknya sains. Satu pihak mengklaim sesuatu kemudian pihak lain ada yang meneguhkan klaim tersebut dengan penelitian terpisah. Namun ada juga hasil penelitian terpisah lainnya menyatakan sebaliknya. Terus-menerus demikian hingga mengerucut pada satu kesimpulan. Itu pun tidak akan bertahan selamanya. Akan ada saatnya penemuan-penemuan baru muncul dan melahirkan ide baru. Ingat, puluhan tahun Pluto menyandang gelar planet, namun seiring dengan kemajuan teknologi pendeteksian benda angkasa luar, akhirnya Pluto mendapat gelar baru: plutoid. Mari kita tunggu status keberadaan Gliese 581 g. Mungkin memang ada, mungkin memang pada orbit yang dilaporkan, hanya saja astronom perlu bekerja lebih lanjut. Atau hasilnya bisa lain sama sekali. Pun tim Lick-Carnegie dalam penutup laporannya mengundang tim lain untuk mengkonfirmasi dengan pengukuran kecepatan radial yang presisi mengenai keberadaan planet yang diumumkannya.
Sumber: Astrobiology Magazine

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Supernova dalam Selubung Debu

Bintang, sama seperti manusia punya perjalanan hidup dan suatu hari dia akan mengakhiri kehidupannya itu dengan berbagai cara bergantung pada massanya. Bagi bintang-bintang raksasa mereka akan mengakhiri siklus hidupnya dalam ledakan supernova. Tapi, bintang yang satu ini agak berbeda.

Supernova yang berada dalam selubung debu. Kredit : Ohio State University
Bintang raksasa yang berada di galaksi jauh ini baru saja mengakhiri hidupnya dalam selubung debu dan bukannya sebuah ledakan yang biasanya terjadi. Kejadian aneh yang diamati para peneliti dari Ohio State University ini pun tampaknya kejadian pertama untuk tipe akhir hidup dalam selubung debu. Tapi, bukan berarti kejadian tersebut langka atau aneh, karena tampaknya pola mengakhiri siklus hidup seperti ini umum pada masa awal alam semesta. Bahkan kejadian tersebut juga memberi petunjuk akan apa yang bisa kita lihat jika bintang yang sangat terang di galaksi menjadi supernova.
Survei AGN
Sebagai bagian dari Spitzer Space Telescope Deep Wide Field Survey, para astronom mensurvei data untuk mencari active galactic nuclei (AGN), lubang hitam supermasif yang berada di pusat galaksi. AGN ini biasanya memancarkan sejumlah besar panas saat ada materi yang terhisap ke dalam lubang hitam. Pada umumnya, astronom akan mencari bintik panas yang bervariasi temperaturnya karena bintik inilah yang dapat menjadi bukti perubahan yang terjadi ketika materi terhisap dalam lubang hitam.
Normalnya, dalam pencarian seperti ini para astronom tidak akan mengharapkan menemukan supernova karena biasanya supernova melepaskan sebagian besar energinya sebagai cahaya bukannya panas.
Akan tetapi saat mencari lubang hitam, ada satu bintik yang sangat panas, tampak pada galaksi yang jaraknya 3 milyar tahun cahaya dari Bumi. Yang menarik, bintik ini tidak cocok dengan tipe sinyal panas dari AGN. Spektrum cahaya yang tampak dari galaksi juga tidak menunjukkan keberadaan AGN, setelah para peneliti melakukan konfirmasi akan fakta yang didapat dengan menggunakan teleskop Keck 10 meter di Hawaii.

Obyek itu, supernova

Panas yang sangat besar tersuar dari obyek tersebut lebih dari 6 bulan dan kemudian meredup di awal Maret 2008. Petunjuk lain untuk keberadaan sebuah obyek yang dikenal sebagai supernova. Selama lebih dari 6 bulan obyek ini melepaskan energi yang jauh lebih besar dari energi yang bisa dihasilkan Matahari di sepanjang hidupnya.
Para astronom juga mengetahui jika sumber panas itu merupakan supernova, maka dari jumlah energi yang ekstrim yang ia pancarkan akan mengklasifikasikan obyek baru ini sebagai supernova yang besar atau sebuah hipernova. Temperatur obyek tersebut berkisar pada 1000 K sedikit lebih panas dari permukaan planet Venus.  Nah ini memang sedikit aneh. Ada apa di obyek baru tersebut yang bisa menyerap energi cahaya yang demikian besar dan menghamburkannya sebagai panas?
Jawabannya adalah debu dan jumlahnya sangat besar.

Bintang apakah itu?

Sekarang, saatnya para astronom bekerja untuk menelusuri kembali jenis bintang apakah yang bisa menghasilkan supernova dan bagaimana debu bisa meredam sebagian ledakan. Mereka pun melakukan perhitungan dan menemukan kalau bintang tersebut merupakan bintang raksasa yang setidaknya memiliki massa 50 kali lebih masif dari Matahari.  Bintang masif seperti ini biasanya melontarkan debu saat mereka mendekati akhir kehidupannya.
Hasil perhitungan menunjukkan, bintang seperti ini akan memiliki 2 kali lontaran. Lontaran pertama terjadi sekitar 300 tahun sebelum supernova dan lontaran kedua terjadi sekitar 4 tahun sebelum ledakan. Gas dan debu dari kedua lontaran ini akan tetap berada disekitar bintang dan kemudian secara perlahan masing – masing mengembang menjadi cangkang yang menyelubungi bintang. Selubung bagian dalam merupakan gas dan debu yang berasal dari lontaran kedua 4 tahun sebelumnya akan berada sangat dekat dengan bintang, sedangkan selubung terluar yang berasal dari 300 tahun lalu akan berada lebih jauh dari bintang.
Selubung terluar dari debu ini hampir tak tembus cahaya, sehingga ia akan menyerap energi cahaya yang melewati cangkang bagian dalam dan mengubahnya menjadi panas.  Inilah yang menyebabkan supernova ini muncul di survei Spitzer sebagai awan debu panas. Bahkan menurut Krzysztof Stanek, profesor astronomi di Ohio State, bintang mungkin lebih sering tersedak dalam debunya sendiri di masa lalu.
Peristiwa seperti ini tampaknya jauh lebih sering terjadi pada galaksi kecil dengan tingkat kandungan logam yang rendah. Atau dengan kata lain,  galaksi tersebut merupakan galaksi muda dimana kala waktu keberadaannya masih belum cukup bagi bintang memiliki reaksi fusi yang mengubah hidrogen dan helium menjadi senyawa kompleks yang oleh para astronom diklasifikasi sebagai logam.

Peluang melihat Supernova dalam Selubung di masa depan

Eta Carinae sistem bintang dengan kecerlangan 4 juta kali Matahari. kredit: Nathan Smith (University of California, Berkeley), NASA
Di masa depan, dalam Wide-field Infrared Explorer (WISE), yang sudah diluncurkan NASA pada bulan Desember 2009, supernova tipe ini akan semakin banyak ditemukan. Bahkan diharapkan WISE akan dapat melihat setidaknya 100 tipe supernova seperti ini dalam 2 tahun. Akan tetapi, posisi Bumi dan Matahari (Tata Surya) yang segaris dengan galaksi tersebut, para astronom tidak akan bisa melihat peristiwa tersebut dengan mata telanjang saat ia terjadi. Para pengamat dari Bumi baru akan dapat melihatnya saat si bintang bersinar terang sekitar 1 dekade dari sekarang. Pada jangka waktu 1 dekade itulah gelombang kejut dari bintang yang meledak akan mencapai selubung debu bagian dalam dan menembusnya menuju selubung bagua luar. Pada saat itulah, pengamat di Bumi punya sesuatu yang dapat diamati.
Para pengamat juga setidaknya punya satu kesempatan untuk melihat cahaya serupa yang lebih dekat dengan Bumi. Jika Eta Carina menjadi supernova saat ini, maka peristiwa yang serupa diperkirakan akan terjadi. Eta Carina merupakan sistem bintang yang berada di Bima Sakti  yang terdiri dari dua bintang Wolf Rayet pada jarak 7500 – 8000 tahun cahaya.  Kedua bintang tersebut diselubungi cangkang debu Nebula Homunculus. Para astronom meyakini nebula tersebut terbentuk saat bintang terbesa dari kedua bintang itu mengalami letusan masif di tahun 1840 dan diperkirakan akan ada letusan kedua yang terjadi di masa depan.
Sumber : Ohio State University

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Asteroid Kecil Akan Melintasi Bumi

Sebuah asteroid akan melintasi Bumi dalam 1/10 jarak Bumi-Bulan.  Asteroid kecil ini ditemukan dalam survei langit rutin yang dilakukan teleskop NASA di Arizona, pada tanggal 9 Oktober jam 14.55 wib. 
Asteroid yang kemudian diidentifikasi dengan nama 2010 TD54 akan mengalami pertemuan terdekatnya dengan permukaan Bumi pada ketinggian 45 000 km pada tanggal 12 Oktober 2010 jam 10.50 UT atau 17.50 WIB. Pada waktu tersebut, asteroid TD54 ini akan berada di area Asia Tenggara di daerah sekitar Singapura.

Lintasan asteroid 2010 TD54 yang akan melintasi Bumi pada tanggal 12 Oktober 2010. Kredit : NASA
Yang pasti asteroid kecil ini tidak akan mengancam Bumi, karena selama 2010 TD54 melakukan terbang lintas dekat Bumi,  ia tidak memiliki kemungkinan untuk menabrak Bumi.  2010 TD54 diperkirakan memiliki ukuran 5 – 10 meter sehingga dibutuhkan teleskop untuk bisa melihat obyek yang akan melintasi Bumi tersebut.  2010 TD54 akan dapat diamati sebagai obyek dengan kecerlangan 14 magnitudo yang akan melintas di rasi Pisces dan Aquarius.
NEA yang Melintasi Bumi
Hal menarik lainnya, diperkirakan asteroid dekat Bumi (Near Earth Asteroid/NEA) berukuran 5 meter dari populasi yang belum ditemukan akan melintas setiap hari dalam jarak Bumi – Bulan.
Obyek kecil yang diyakini populasinya mencapai 30 juta obyek tersebut, diperkirakan akan ada masuk ke atmosfer Bumi dengan perkiraan kejadian 1 asteroid setiap 2 tahun sekali.  Dan kala asteroid berukuran 5 meter tersebut masuk ke atmosfer Bumi, ia akan terbakar di atmosfer sehingga tidak akan menimbulkan kerusakan bagi permukaan Bumi.
Sumber : NASA

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS