2 Asteroid Melintasi BUMI

Di sela-sela kesibukan masyarakat Indonesia yang akan mudik, ada satu kejadian langit yang bisa disimak yakni mendekatnya 2 asteroid ke Bumi pada jarak yang lebih dekat dari Bulan.
Tanggal 5 September  2010 yang lalu, Andrea Boattini yang sedang melakukan survei langit sebagai bagian dari Mount Lemmon Survey berhasil menemukan 2 buah obyek yang akan melintasi Bumi dalam jarak terdekatnya pada tanggal 8 September 2010.  Kedua obyek ini berhasil diamati dengan menggunakan teleskop reflektor 15 meter di Mount Lemmon, Arizona. Diperkirakan, kedua asteroid tersebut akan berada dalam jarak yang lebih dekat dari jarak Bulan – Bumi.

Dua asteroid kecil dalam orbit yang berbeda akan melintas dalam jarak Bumi - Bulan tanggal 8 September 2010. Kredit : JPL/NASA
Menarik? Jelas ! Kejadian ini merupakan fenomena yang sayang untuk dilewatkan oleh para pengamat langit dan astronom amatir.  Ups, tapi mungkin asteroid melintas dekat Bumi bukan sekedar fenomena menarik bagi astronom amatir.  Muncul pertanyaan baru, apakah asteroid itu akan masuk dan menabrak Bumi seperti di film-film?
Jangan kuatir, kedua asteroid dekat Bumi yang berukuran  8 dan 12 meter ini hanya akan melintas dan tidak akan nyelonong ke Bumi.  Keduanya muncul dari kumpulan asteroid yang memang masih belum ditemukan dan dikenali dari sekitar 50 juta populasi asteroid.
2010 RF12
Dari kedua obyek yang akan melintasi Bumi tersebut, 2010 RF12 merupakan obyek yang lebih kecil dan diperkirakan berukuran antara 6 – 14 meter. Ia akan melintas dalam jarak 0,2 jarak Bumi Bulan atau 79000 km pada tanggal 8 September jam 21.00 UT atau 9 September 04.00 wib.
Orbit 2010 RF12 tanggal 8 September 2010 yang dibuat dengan JPL Small-Body Database Browser
2010 RF12 akan melintas dengan kecepatan 30”/menit – 50”/menit dengan kecerlangan antara 16 sampai 14 magnitudo saat berada pada posisi terdekat dengan Bumi.  Saat ini  2010 RF12 akan mengorbit dalam jarak 0,82 – 1,17 SA dan ia juga mengorbit Matahari sekali dalam setahun. Yang menarik, ia hanya akan bertemu Bumi satu kali dalam 100 tahun.
2010 RX30
Obyek kedua yang akan melintas Bumi adalah asteroid dekat Bumi 2010 RX30 yang akan mendekati Bumi pada jarak 0,66 jarak Bulan atau 248000 km.  Asteroid 2010 RX30 ini memiliki ukuran yang sedikit lebih besar dari 2010 RF12 yakni kisaran 10-20 meter dan 2010 RX30 akan berada pada posisi terdekatnya pada tanggal 8 September 2010 jam 10.00 UT atau jam 17.00 wib.  Pada saat mendekat 2010 RX30 akan memiliki kecerlangan 16 magnitudo pada awalnya namun kemudian semakin cerlang hingga mencapai magnitudo 15.
Orbit asteroid 2010 RX30 yang dibuat dengan JPL Small-Body Database Browser
Asteroid yang satu ini akan melintas di langit dengan kecepatan antara 2-5 detik busur / detik.  Para pengamat langit di belahan bumi selatan akan memiliki kesempatan melihat 2010 RF12 saat ia mencapai kecerlangan dengan magnitudo 13 pada tanggal 8 September jam 16.00 – 17.00 UT atau tgl 8 September jam 23.00 wib – 9 September jam 00.00 wib.
Menarik? Siapkan teleskopmu untuk menikmati asteroid tersebut malam ini!

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Air di Bintang Karbon

Air, komponen satu ini memang penting sebagai penopang kehidupan seperti yang kita kenal di Bumi. Karena itu berbagai penelitian dan pengamatan dilakukan untuk menemukan keberadaan air di alam semesta terutama pada planet yang serupa Bumi yang berada dalam area laik huni.

CW Leonis yang dilihat Teleskop Herschel. Kredit : ESA/PACS/SPIRE/MESS Consortia
Dalam pengamatan yang dilakukannya, Teleskop Herschel milik ESA berhasil mendeteksi keberadaan uap air di sebuah lokasi yang pada awalnya dianggap tidak mungkin ada uap air disana. Uap air tersebut dilihat ESA pada atmosfer bintang karbon raksasa merah.

Bintang Yang Mulai Menua

Dengan mempelajari berbagai fase dalam siklus kehidupan bintang, astronom dapat menyatukan proses yang memegang peranan dalam evolusi bintang serta interaksinya dengan lingkungan sekitar.  Dari hasil mempelajari proses tersebut, bintang bermassa rendah yang tadinya biasa saja ( massa < 8 – 9 kali massa Matahari) ternyata bisa memberi kejutan. Dan itulah yang terjadi dengan CW Leonis atau yang dikenal sebagai IRC +10216, bintang karbon raksasa merah yang sedang mengalami proses penuaan.
Siklus kehidupan bintang bermassa rendah pada umumnya berakhir dengan mengerut dan bukannya sebuah ledakan. Jadi setelah waduk hidrogen dalam inti bintang terkonsumsi, bintang kemudian mulai menggunakan bahan bakar nuklir berikutnya yakni helium untuk diubah menjadi karbon. Setelah helium habis, bintang tidak dapat mencapai temperatur yang sangat tinggi untuk reaksi fusi nuklir elemen yang lebih berat. Bintang kemudian mulai mengembang (dengan pertumbuhan radius bintang sampai beberapa ratus sampai ribuan kali) dan memasuki tahap yang dikenal sebagai raksasa merah.
Pada tahap ini, bintang akan mengalami kehilangan massa yang cukup besar dan kemudian melontarkan lapisan terluarnya dan membentuk kerangka sirkumbintang yang terdiri dari debu dan molekul-molekul. Periode ini juga dikenal sebagai fasa Asymptotic Giant Branch, yang mengacu pada lokasi bintang dalam diagram Hertzsprung-Russell. Pada saat bersamaan, sisa reruntuhan bintang yang kaya dengan karbon dan oksigen akan terus berkontraksi dan berevolusi menjadi bintang yang lebih kecil yaitu bintang katai putih yang sangat panas.
Gas yang dilontarkan ke ruang antar bintang oleh angin bintang yang kuat dari bintang AGB ini justru kaya dengan elemen berat khususnya karbon dan oksigen. Kelimpahan kedua unsur ini berbeda dari bintang ke bintang.
CW Leonis
Bintang yang diamati Herschel, CW Leonis merupakan bintang paling terang (dalam cahaya infra merah) dan sekaligus merupakan bintang raksasa merah terdekat. Selain itu bintang ini juga memiliki selubung yang di dominasi oleh karbon. Lingkungan yang kaya karbon seperti ini jelas diharapkan dapat mengontrol sejumlah reaksi kimia organik. Dalam reaksi tersebut, hampir semua oksigen terikat dengan molekul karbon monoksida (CO) dan silikon monoksida (SiO)
Pada tahun 2001, berita mengejutkan datang dari hasil pengamatan CW Leonis yang dilakukan oleh Submillimetre Wave Astronomy Satellite (SWAS). SWAS mengungkap keberadaan uap air  (H2O) di selubung bintang.
Air, molekul yang satu ini memang sangat penting dan menjadi elemen utama yang mendukung keberadaan kehidupan di Bumi.  Dari sinilah berbagai penelitian dan pengamatan dilakukan untuk bisa mendeteksi keberadaan molekul yang satu ini.
Tanda yang dilihat SWAS pada garis spektrum yang ia ambil menunjukkan keberadaan molekul air dengan temperatur hanya 61 K, dan dengan demikian menempatkan air tersebut berada di bagian luar atau tepatnya di selubung bintang yang dingin.
Penjelasan yang diberikan astronom mengasumsikan kalau air tersebut muncul dari penguapan awan ataupun benda dingin seperti komet atau planet katai yang ada di sekeliling bintang. Akan tetapi dibutuhkan juga mekanisme lainnya yang bisa menjelaskan keberadaan uap air di selubung CW Leonis. Dan pendeteksian yang berasal dari satu garis tidaklah cukup untuk dijadikan bukti keberadaan uap air tersebut.
Pengamatan Herschel
November 2009, setelah teleskop Herschel bertugas dan mengamati CW Leonis dengan menggunakan spektrometer SPIRE dan PACS pada panjang gelombang 55 – 670 mikron. Hasilnya, Herschel melihat tidak hanya 1 melainkan berhasil mengidentifikasi 60 garis keberadaan air yang terkait langsung dengan sejumlah level energetik molekul.
Pendeteksian dari sebagian besar garis yang dipancarkan oleh molekul yang sama jelas memberikan informasi penting. Hal ini disebabkan karena setiap garis terkait dengan energi tertentu, dengan demikian mengarah pada temperatur tertentu. Banyaknya garis yang dilihat justru membantu untuk melacak sumber air tersebut di selubung antar bintang. Garis-garis yang terkait temperatur tinggi akan membawa informasi kalau molekulnya berada semakin dekat dnegan permukaan bintang.
Spektrum dengan presisi yang tinggi didapat dengan menggunakan spektrometer Herschel mengindikasikan temperatur pada 1000 K. Ini jelas menunjukan kalau air tidak hanya berada pada selubung terluar seperti diindikasikan pada data SWAS, namun juga ada pada selubung tengah dan dalam dari CW Leonis. Akibatnya, butuh mekanisme lain untuk menjelaskan bukti pengamatan baru tersebut.
Air Yang Dilihat Herschel
Untuk bisa memproduksi air pada lingkungan kaya karbon, atom oksigen harus dilepas dari molekul dimana ia terikat, dalam hal ini CO dan SiO untuk kemudian bergabung dengan hidrogen.  Dalam kasus ini, dibutuhkan radiasi energetik dari foton ultra ungu / ultra violet (UV) untuk memisahkan molekul pembawa oksigen tersebut.
Ilustrasi pembentukan air di sekeliling bintang karbon. Kredit : ESA. Adapted from L. Decin et al. (2010)
Struktur selubung antar bintang yang tidak teratur dan cenderung bergumpal-gumpal inilah yang menyebabkan foton UV dari ruang antar bintang dapat masuk cukup dalam melalui selubung.  Di dalam selubung foton UV akan memicu terjadinya rangkaian reaksi yang memproduksi air yang tampak tersebut serta beberapa molekul lainnya seperti Amonia (NH3).
Data dari herschel tak pelak menantang pengetahuan yang ada terkait kimiawi bintang yang terjadi di selubung bintang yang sedang menua. Sekaligus membawa para peneliti untuk melihat pentingnya fotokimia yang disebabkan oleh foton UV di lingkungan tersebut.  Proses serupa juga bisa menjelaskan kondisi yang berlawanan, dalam hal ini keberadaan molekul kaya karbon di bintang AGB yang selubungnya didominasi oleh oksigen.
CW Leonis memang contoh pertama keberadaan air di bintang karbon. Namun dengan keberadaan Herschel, di masa depan ia akan meneliti bintang karbon lainnya untuk membuktikan mekanisme tersebut pada sampel yang lebih luas lagi.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Sumber Energi Flare Matahari

Sejak pertama kali diamati oleh Carrington dan Hodgson pada tahun 1859, pengamatan dan penelitian tentang solar flare telah maju dengan sangat pesat. Bahkan pada saat ini telah menjadi suatu bahan perbincangan yang hangat di masyarakat. Apalagi sebabnya jika bukan prediksi bencana yang akan ditimbulkannya kepada bumi.

Foto fenomena solar flare di permukaan matahari. Kredit : Mila / wikipedia
Meskipun demikian, terlepas dari perbincangan hangat tersebut, flare Matahari yang merupakan ledakan rutin yang terjadi di matahari ini telah banyak diulas media dan mulai dikenal oleh masyarakat awam. Untuk itu tulisan ini mencoba membahas secara sederhana mengenai sumber energi dari solar flare yang meledak di permukaan matahari.
Sumber Energi Flare Matahari
Melalui pengamatan, diketahui bahwa flare Matahari biasanya dapat terjadi dalam waktu satu jam sampai satu hari. Dalam selang waktu tersebut, energi total yang dilepaskan oleh fenomena ini sangat besar, yaitu sekitar 1022 – 1025 J.
E.R. Priest pada tahun 1982 melakukan perhitungan energi rata-rata yang dilepaskan oleh sebuah flare sebagai berikut :
Radiasi Elektromagnetik                     1032 erg
Ledakan gelombang interplanet        1032 erg
Elektron cepat (hard x-ray)              5.1031 erg
Partikel subrelativistik                      2.1031 erg
Partikel relativistik                             3.1031 erg
TOTAL ENERGI                                 3.1032 erg
Jika diubah ke dalam satuan SI, maka 3.1032 erg setara dengan 3.1025 J. Sebagai perbandingan, total energi yang dilepaskan oleh matahari ke semua arah setiap detiknya (disebut Luminositas Matahari) adalah 3,86 x 1026 J/s. Nilai ini tentu jauh lebih besar dari ledakan sebuah flare yang ‘hanya’ 1022 – 1025 J dalam waktu 1 jam-satu hari.
Akan tetapi, jika kita mau menghitung sedikit dan menyatakan luminositas matahari dalam lingkup daerah solar flare (sekitar 107 – 1010 km2) dan dalam rentang waktu flare Matahari (satu jam – satu hari), maka energi yang dipancarkan matahari adalah sekitar 1018 – 1022 J. Dengan kata lain, rata-rata satu flare Matahari dapat melepaskan energi sekitar sepuluh ribu sampai seratus ribu kali dari energi yang dilepaskan oleh matahari (woow…) pada luas daerah yang sama dan pada waktu yang sama. Ini adalah jumlah energi yang sangat besar yang dilepaskan dalam waktu yang singkat! Jika matahari memperoleh energinya dari reaksi inti di pusat matahari yang bersuhu sekitar 15 juta K, darimanakah sebuah flare memperoleh energi sebesar itu dari permukaan matahari yang suhunya ‘hanya’ sekitar 5700 K? Fenomena ini merupakan salah satu rahasia alam semesta yang sangat menarik dan sangat menantang untuk dipecahkan.
Semenjak awal dilakukan penelitian, brbagai teori mengenai sumber energi dari flare Matahari sudah dikemukakan yang secara umum bisa dibagi dalam 2 kelompok besar. Kelompok pertama menyatakan bahwa sumber energi bukan berasal dari medan magnet matahari secara langsung (medan magnet bereran secara pasif) , tetapi medan magnet matahari berperan sebagai katalis dari sumber energi flare. Kelompok kedua menyatakan bahwa sumber energi flare langsung berasal dari medan magnet matahari (medan magnet berperan secara aktif).
Medan magnet yang berperan secara pasif
Untuk kelompok yang meyakini bahwa sumber energi flare Matahari bukan berasal dari medan magnet Matahari secara langsung, ada 2 pemodelan yang dibuat untuk mendukung teori tersebut.
Yang Pertama dikenal dengan nama Model Charmichael yang dibangun pada tahun 1964. Menurut Charmichael, sumber energi flare berasal dari angin matahari yang terperangkap di daerah aktif (daerah bintik matahari). Karena terperangkap, maka makin lama energinya semakin besar dan kemudian menjadi solar flare.
Model kedua kemudian muncul pada tahun 1969 dan dikenal sebagai Model Elliot (1969).  Secara umum model Elliot ini hampir sama dengan Charmichael, hanya saja yang terperangkap dalam medan magnet bukanlah angin matahari, tetapi partikel-partikel elementar yang terus menerus dipercepat sehingga pada akhirnya menghasilkan solar flare.
Medan magnet yang berperan secara aktif
Teori yang diajukan kelompok kedua yang meyakini bahwa medan magnet berperan aktif diyakini paling tepat sebagai sumber energi flare Matahari. Jika dihitung secara kasar, maka medan magnet yang berada di daerah medan magnet aktif menyimpan energi sebesar 1023 – 1028 J. Jumlah energi ini tentu saja mencukupi untuk menyuplai kehadiran energi dari solar flare yang ‘hanya’ sebesar 1022 – 1025 J. Hanya saja, bagaimana energi yang besar ini dapat dilepaskan dalam waktu yang singkat (satu jam sampai satu hari)? Untuk itu perlu ada mekanisme tentang bagaimana terjadinya flare Matahari dan bagaimana energi sebesar itu bisa terlepas dalam waktu yang singkat. Inilah pekerjaan besar dari para ahli teori flare Matahari untuk membangun model-model flare Matahari yang harus sesuai dan didukung oleh pengamatan yang ada.
Energi yang Dilepaskan
Selain besarnya energi solar flare yang merupakan tantangan untuk dipecahkan, ternyata ada lagi hal lain yang lebih menarik dari solar flare, yaitu seluruh energi yang dilepaskan oleh solar flare (yang fenomenanya bisa terjadi dari satu jam sampai satu hari), ternyata 50% energinya dilepaskan hanya dalam waktu yang sangat pendek, yaitu 100 – 1000 detik saja, yaitu sekitar 2 – 17 menit saja! Bagaimana ini bisa terjadi? Bisa disimak dalam skema yang dibuat E. R. Priest pada tahun 1982.
Energi yang dilepaskan oleh setiap fasa flare dalam berbagai panjang gelombang. Kredit : E.R. Priest
Flare Matahari boleh dikatakan sebagai sebuah ledakan yang terjadi di matahari. Ternyata ledakan tersebut tidak seperti yang kita bayangkan. Sejak meledak sampai selesai, flare Matahari memiliki sebuah selang waktu yang sangat pendek dimana terjadi ledakan yang sangat besar (disebut fasa impulsif) yang menghabiskan setengah energi dari total energi flare dalam waktu sempit (2-17 menit) dan membuat grafik energi flare memiliki suatu ‘loncatan’ energi yang besar. Model-model solar flare yang dibangun oleh para ahli haruslah dapat menjelaskan fenomena fasa impulsif ini.
Dengan berbagai fenomena yang sangat menarik di atas tentang flare Matahari, tidak heran kalau manusia meluncurkan berbagai pesawat antariksa seperti YOHKOH, GOES, RHESSI, Hinode, dan misi-misi lainnya hanya untuk mengamati matahari dan untuk menguak misterinya yang salah satunya adalah misteri dari flare Matahari.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS