INDONESIA > Benua Atlantis

Mitos tentang Peradaban Atlantis pertama kali dicetuskan oleh seorang filsafat Yunani kuno bernama Plato (427 – 347 SM) dalam buku Critias dan Timaeus
Dalam buku Timaeus Plato menceritakan bahwa dihadapan selat Mainstay Haigelisi, ada sebuah pulau yang sangat besar, dari sana kalian dapat pergi ke pulau lainnya, di depan pulau-pulau itu adalah seluruhnya daratan yang dikelilingi laut samudera, itu adalah kerajaan Atlantis. Ketika itu Atlantis baru akan melancarkan perang besar dengan Athena, namun di luar dugaan Atlantis tiba-tiba mengalami gempa bumi dan banjir, tidak sampai sehari semalam, tenggelam sama sekali di dasar laut, negara besar yang melampaui peradaban tinggi, lenyap dalam semalam.
Dibagian lain pada buku Critias adalah adik sepupu dari Critias mengisahkan tentang Atlantis. Critias adalah murid dari ahli filsafat Socrates, tiga kali ia menekankan keberadaan Atlantis dalam dialog. Kisahnya berasal dari cerita lisan Joepe yaitu moyang lelaki Critias, sedangkan Joepe juga mendengarnya dari seorang penyair Yunani bernama Solon (639-559 SM).
Solon adalah yang paling bijaksana di antara 7 mahabijak Yunani kuno, suatu kali ketika Solon berkeliling Mesir, dari tempat pemujaan makam leluhur mengetahui legenda Atlantis.
Garis besar kisah pada buku tersebut Ada sebuah daratan raksasa di atas Samudera Atlantik arah barat Laut Tengah yang sangat jauh, yang bangga dengan peradabannya yang menakjubkan. Ia menghasilkan emas dan perak yang tak terhitung banyaknya. Istana dikelilingi oleh tembok emas dan dipagari oleh dinding perak. Dinding tembok dalam istana bertahtakan emas, cemerlang dan megah. Di sana, tingkat perkembangan
peradabannya memukau orang. Memiliki pelabuhan dan kapal dengan perlengkapan yang sempurna, juga ada benda yang bisa membawa orang terbang. Kekuasaannya tidak hanya terbatas di Eropa, bahkan jauh sampai daratan Afrika. Setelah dilanda gempa dahsyat,
tenggelamlah ia ke dasar laut beserta peradabannya, juga hilang dalam ingatan orang-orang.
Jika dibaca dari sepenggal kisah diatas maka kita akan berpikiran bahwa Atlantis merupakan sebuah peradaban yang sangat memukau. Dengan teknologi dan ilmu pengetahuan pada waktu itu sudah menjadikannya sebuah bangsa yang besar dan mempunyai kehidupan yang makmur.
Tapi kemudian saya mempunyai pertanyaan, apakah itu hanya sebuah cerita untuk pengantar tidur pada jamannya Plato atau memang Plato mempunyai bukti2 kuat dan otentik bahwa atlantis itu benar-benar pernah ada dalam kehidupan di bumi ini?
Terdapat beberapa catatan tentang usaha para ilmuwan dan orang-orang dalam pencarian untuk membuktikan bahwa Atlantis itu benar-benar pernah ada.
Menurut perhitungan versi Plato waktu tenggelamnya kerajaan Atlantis, kurang lebih 11.150 tahun yang silam. Plato pernah beberapa kali mengatakan, keadaan kerajaan Atlantis diceritakan turun-temurun. Sama sekali bukan rekaannya sendiri. Plato bahkan pergi ke Mesir minta petunjuk biksu dan rahib terkenal setempat waktu itu. Guru Plato yaitu Socrates ketika membicarakan tentang kerajaan Atlantis juga menekankan, karena hal itu adalah nyata, nilainya jauh lebih kuat dibanding kisah yang direkayasa.
Jika semua yang diutarakan Plato memang benar-benar nyata, maka sejak 12.000 tahun silam, manusia sudah menciptakan peradaban. Namun di manakah kerajaan Atlantis itu? Sejak ribuan tahun silam orang-orang menaruh minat yang sangat besar terhadap hal ini. Hingga abad ke-20 sejak tahun 1960-an, laut Bermuda yang terletak di bagian barat Samudera Atlantik, di kepulauan Bahama, dan laut di sekitar kepulauan Florida pernah berturut-turut diketemukan keajaiban yang menggemparkan dunia.
Suatu hari di tahun 1968, kepulauan Bimini di sekitar Samudera Atlantik di gugusan Pulau Bahama, laut tenang dan bening bagaikan kaca yang terang, tembus pandang hingga ke dasar laut. Beberapa penyelam dalam perjalanan kembali ke kepulauan Bimini, tiba-tiba ada yang menjerit kaget. Di dasar laut ada sebuah jalan besar! Beberapa penyelam secara bersamaan terjun ke bawah, ternyata memang ada sebuah jalan besar membentang tersusun dari batu raksasa. Itu adalah sebuah jalan besar yang dibangun dengan menggunakan batu persegi panjang dan poligon, besar kecilnya batu
dan ketebalan tidak sama, namun penyusunannya sangat rapi, konturnya cemerlang. Apakah ini merupakan jalan posnya kerajaan Atlantis?
Awal tahun ‘70-an disekitar kepulauan Yasuel Samudera Atlantik, sekelompok peneliti telah mengambil inti karang dengan mengebor pada kedalaman 800 meter di dasar laut, atas ungkapan ilmiah, tempat itu memang benar-benar sebuah daratan pada 12.000 tahun silam. Kesimpulan yang ditarik atas dasar teknologi ilmu pengetahuan, begitu mirip seperti yang dilukiskan Plato! Namun, apakah di sini tempat tenggelamnya kerajaan Atlantis?
Tahun 1974, sebuah kapal peninjau laut Uni Soviet telah membuat 8 lembar foto yang jika disarikan membentuk sebuah bangunan kuno mahakarya manusia. Apakah ini dibangun oleh orang Atlantis?
Tahun 1979, ilmuwan Amerika dan Perancis dengan peranti instrumen yang sangat canggih menemukan piramida di dasar laut “segitiga maut” laut Bermuda.
Panjang piramida kurang lebih 300 meter, tinggi kurang lebih 200 meter, puncak piramida dengan permukaan samudera hanya berjarak 100 meter, lebih besar dibanding piramida Mesir. Bagian bawah piramida terdapat dua lubang raksasa, air laut dengan kecepatan yang menakjubkan mengalir di dasar lubang.
Piramida besar ini, apakah dibangun oleh orang-orang Atlantis? Pasukan kerajaan Atlan pernah menaklukkan Mesir, apakah orang Atlantis membawa peradaban piramida ke Mesir? Benua Amerika juga terdapat piramida, apakah berasal dari Mesir atau berasal dari kerajaan Atlantis?
Tahun 1985, dua kelasi Norwegia menemukan sebuah kota kuno di bawah areal laut “segitiga maut”. Pada foto yang dibuat oleh mereka berdua, ada dataran, jalan
besar vertikal dan horizontal serta lorong, rumah beratap kubah, gelanggang aduan (binatang), kuil, bantaran sungai dll. Mereka berdua mengatakan mutlak percaya terhadap apa yang mereka temukan itu adalah Benua Atlantis seperti yang dilukiskan oleh Plato. Benarkah itu?
Yang lebih menghebohkan lagi adalah penelitian yang dilakukan oleh Aryso Santos, seorang ilmuwan asal Brazil. Santos menegaskan bahwa Atlantis itu adalah wilayah yang sekarang ini disebut Indonesia.
Dalam penelitiannya selama 30 tahun yang ditulis dalam sebuah buku “Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitifve Localization of Plato’s Lost Civilization” dia menampilkan 33 perbandingan, seperti luas wilayah, cuaca, kekayaan alam, gunung berapi, dan cara bertani, yang akhirnya menyimpulkan bahwa Atlantis itu adalah Indonesia. Sistem terasisasi sawah yang khas Indonesia, menurutnya, ialah bentuk yang diadopsi oleh Candi Borobudur, Piramida di Mesir, dan bangunan kuno Aztec di Meksiko.
Santos menetapkan bahwa pada masa lalu Atlantis itu merupakan benua yang membentang dari bagian selatan India, Sri Lanka, Sumatra, Jawa, Kalimantan, terus ke arah timur dengan Indonesia (yang sekarang) sebagai pusatnya. Di wilayah itu terdapat puluhan gunung berapi yang aktif dan dikelilingi oleh samudera yang menyatu bernama Orientale, terdiri dari Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.
Sedangkan menurut Plato Atlantis merupakan benua yang hilang akibat letusan gunung berapi yang secara bersamaan meletus. Pada masa itu sebagian besar bagian dunia masih diliput oleh lapisan-lapisan es (era Pleistocene). Dengan meletusnya berpuluh-puluh gunung berapi secara bersamaan yang sebagian besar terletak di wilayah Indonesia (dulu) itu, maka tenggelamlah sebagian benua dan diliput oleh air asal dari es yang mencair. Di antaranya letusan gunung Meru di India Selatan dan gunung Semeru/Sumeru/Mahameru di Jawa Timur. Lalu letusan gunung berapi di Sumatera yang membentuk Danau Toba dengan pulau Somasir, yang merupakan puncak gunung yang meletus pada saat itu. Letusan yang paling dahsyat di kemudian hari adalah gunung Krakatau (Krakatoa) yang memecah bagian Sumatera dan Jawa dan lain-lainnya serta membentuk selat dataran Sunda.
Santos berbeda dengan Plato mengenai lokasi Atlantis. Ilmuwan Brazil itu berargumentasi, bahwa pada saat terjadinya letusan berbagai gunung berapi itu, menyebabkan lapisan es mencair dan mengalir ke samudera sehingga luasnya bertambah. Air dan lumpur berasal dari abu gunung berapi tersebut membebani samudera dan dasarnya, mengakibatkan tekanan luar biasa kepada kulit bumi di dasar samudera, terutama pada pantai benua. Tekanan ini mengakibatkan gempa. Gempa ini diperkuat lagi oleh gunung-gunung yang meletus kemudian secara beruntun dan menimbulkan gelombang tsunami yang dahsyat. Santos menamakannya Heinrich Events.
Dalam usaha mengemukakan pendapat mendasarkan kepada sejarah dunia, tampak Plato telah melakukan dua kekhilafan, pertama mengenai bentuk/posisi bumi yang katanya datar. Kedua, mengenai letak benua Atlantis yang katanya berada di Samudera Atlantik yang ditentang oleh Santos. Penelitian militer Amerika Serikat di wilayah Atlantik terbukti tidak berhasil menemukan bekas-bekas benua yang hilang itu. Oleh karena itu tidaklah semena-mena ada peribahasa yang berkata, “Amicus Plato, sed magis amica veritas.” Artinya,”Saya senang kepada Plato tetapi saya lebih senang kepada kebenaran.”
Namun, ada beberapa keadaan masa kini yang antara Plato dan Santos sependapat. Yakni pertama, bahwa lokasi benua yang tenggelam itu adalah Atlantis dan oleh Santos dipastikan sebagai wilayah Republik Indonesia. Kedua, jumlah atau panjangnya mata rantai gunung berapi di Indonesia. Di antaranya ialah Kerinci, Talang, Krakatoa, Malabar, Galunggung, Pangrango, Merapi, Merbabu, Semeru, Bromo, Agung, Rinjani. Sebagian dari gunung itu telah atau sedang aktif kembali.
Dan kebenaran yang pasti tentang keberadaan benua Atlantis pun masih misteri hingga kini. Kira-kira bagaimana kehidupan bangsa Atlantis dan bagaimana mereka musnah?

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Misteri Benua "ATLANTIS"

Mitos tentang Peradaban Atlantis pertama kali dicetuskan oleh seorang filsafat Yunani kuno bernama Plato (427 – 347 SM) dalam buku Critias dan Timaeus
Dalam buku Timaeus Plato menceritakan bahwa dihadapan selat Mainstay Haigelisi, ada sebuah pulau yang sangat besar, dari sana kalian dapat pergi ke pulau lainnya, di depan pulau-pulau itu adalah seluruhnya daratan yang dikelilingi laut samudera, itu adalah kerajaan Atlantis. Ketika itu Atlantis baru akan melancarkan perang besar dengan Athena, namun di luar dugaan Atlantis tiba-tiba mengalami gempa bumi dan banjir, tidak sampai sehari semalam, tenggelam sama sekali di dasar laut, negara besar yang melampaui peradaban tinggi, lenyap dalam semalam.
Dibagian lain pada buku Critias adalah adik sepupu dari Critias mengisahkan tentang Atlantis. Critias adalah murid dari ahli filsafat Socrates, tiga kali ia menekankan keberadaan Atlantis dalam dialog. Kisahnya berasal dari cerita lisan Joepe yaitu moyang lelaki Critias, sedangkan Joepe juga mendengarnya dari seorang penyair Yunani bernama Solon (639-559 SM).
Solon adalah yang paling bijaksana di antara 7 mahabijak Yunani kuno, suatu kali ketika Solon berkeliling Mesir, dari tempat pemujaan makam leluhur mengetahui legenda Atlantis.
Garis besar kisah pada buku tersebut Ada sebuah daratan raksasa di atas Samudera Atlantik arah barat Laut Tengah yang sangat jauh, yang bangga dengan peradabannya yang menakjubkan. Ia menghasilkan emas dan perak yang tak terhitung banyaknya. Istana dikelilingi oleh tembok emas dan dipagari oleh dinding perak. Dinding tembok dalam istana bertahtakan emas, cemerlang dan megah. Di sana, tingkat perkembangan
peradabannya memukau orang. Memiliki pelabuhan dan kapal dengan perlengkapan yang sempurna, juga ada benda yang bisa membawa orang terbang. Kekuasaannya tidak hanya terbatas di Eropa, bahkan jauh sampai daratan Afrika. Setelah dilanda gempa dahsyat,
tenggelamlah ia ke dasar laut beserta peradabannya, juga hilang dalam ingatan orang-orang.
Jika dibaca dari sepenggal kisah diatas maka kita akan berpikiran bahwa Atlantis merupakan sebuah peradaban yang sangat memukau. Dengan teknologi dan ilmu pengetahuan pada waktu itu sudah menjadikannya sebuah bangsa yang besar dan mempunyai kehidupan yang makmur.
Tapi kemudian saya mempunyai pertanyaan, apakah itu hanya sebuah cerita untuk pengantar tidur pada jamannya Plato atau memang Plato mempunyai bukti2 kuat dan otentik bahwa atlantis itu benar-benar pernah ada dalam kehidupan di bumi ini?
Terdapat beberapa catatan tentang usaha para ilmuwan dan orang-orang dalam pencarian untuk membuktikan bahwa Atlantis itu benar-benar pernah ada.
Menurut perhitungan versi Plato waktu tenggelamnya kerajaan Atlantis, kurang lebih 11.150 tahun yang silam. Plato pernah beberapa kali mengatakan, keadaan kerajaan Atlantis diceritakan turun-temurun. Sama sekali bukan rekaannya sendiri. Plato bahkan pergi ke Mesir minta petunjuk biksu dan rahib terkenal setempat waktu itu. Guru Plato yaitu Socrates ketika membicarakan tentang kerajaan Atlantis juga menekankan, karena hal itu adalah nyata, nilainya jauh lebih kuat dibanding kisah yang direkayasa.
Jika semua yang diutarakan Plato memang benar-benar nyata, maka sejak 12.000 tahun silam, manusia sudah menciptakan peradaban. Namun di manakah kerajaan Atlantis itu? Sejak ribuan tahun silam orang-orang menaruh minat yang sangat besar terhadap hal ini. Hingga abad ke-20 sejak tahun 1960-an, laut Bermuda yang terletak di bagian barat Samudera Atlantik, di kepulauan Bahama, dan laut di sekitar kepulauan Florida pernah berturut-turut diketemukan keajaiban yang menggemparkan dunia.
Suatu hari di tahun 1968, kepulauan Bimini di sekitar Samudera Atlantik di gugusan Pulau Bahama, laut tenang dan bening bagaikan kaca yang terang, tembus pandang hingga ke dasar laut. Beberapa penyelam dalam perjalanan kembali ke kepulauan Bimini, tiba-tiba ada yang menjerit kaget. Di dasar laut ada sebuah jalan besar! Beberapa penyelam secara bersamaan terjun ke bawah, ternyata memang ada sebuah jalan besar membentang tersusun dari batu raksasa. Itu adalah sebuah jalan besar yang dibangun dengan menggunakan batu persegi panjang dan poligon, besar kecilnya batu
dan ketebalan tidak sama, namun penyusunannya sangat rapi, konturnya cemerlang. Apakah ini merupakan jalan posnya kerajaan Atlantis?
Awal tahun ‘70-an disekitar kepulauan Yasuel Samudera Atlantik, sekelompok peneliti telah mengambil inti karang dengan mengebor pada kedalaman 800 meter di dasar laut, atas ungkapan ilmiah, tempat itu memang benar-benar sebuah daratan pada 12.000 tahun silam. Kesimpulan yang ditarik atas dasar teknologi ilmu pengetahuan, begitu mirip seperti yang dilukiskan Plato! Namun, apakah di sini tempat tenggelamnya kerajaan Atlantis?
Tahun 1974, sebuah kapal peninjau laut Uni Soviet telah membuat 8 lembar foto yang jika disarikan membentuk sebuah bangunan kuno mahakarya manusia. Apakah ini dibangun oleh orang Atlantis?
Tahun 1979, ilmuwan Amerika dan Perancis dengan peranti instrumen yang sangat canggih menemukan piramida di dasar laut “segitiga maut” laut Bermuda.
Panjang piramida kurang lebih 300 meter, tinggi kurang lebih 200 meter, puncak piramida dengan permukaan samudera hanya berjarak 100 meter, lebih besar dibanding piramida Mesir. Bagian bawah piramida terdapat dua lubang raksasa, air laut dengan kecepatan yang menakjubkan mengalir di dasar lubang.
Piramida besar ini, apakah dibangun oleh orang-orang Atlantis? Pasukan kerajaan Atlan pernah menaklukkan Mesir, apakah orang Atlantis membawa peradaban piramida ke Mesir? Benua Amerika juga terdapat piramida, apakah berasal dari Mesir atau berasal dari kerajaan Atlantis?
Tahun 1985, dua kelasi Norwegia menemukan sebuah kota kuno di bawah areal laut “segitiga maut”. Pada foto yang dibuat oleh mereka berdua, ada dataran, jalan
besar vertikal dan horizontal serta lorong, rumah beratap kubah, gelanggang aduan (binatang), kuil, bantaran sungai dll. Mereka berdua mengatakan mutlak percaya terhadap apa yang mereka temukan itu adalah Benua Atlantis seperti yang dilukiskan oleh Plato. Benarkah itu?
Yang lebih menghebohkan lagi adalah penelitian yang dilakukan oleh Aryso Santos, seorang ilmuwan asal Brazil. Santos menegaskan bahwa Atlantis itu adalah wilayah yang sekarang ini disebut Indonesia.
Dalam penelitiannya selama 30 tahun yang ditulis dalam sebuah buku “Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitifve Localization of Plato’s Lost Civilization” dia menampilkan 33 perbandingan, seperti luas wilayah, cuaca, kekayaan alam, gunung berapi, dan cara bertani, yang akhirnya menyimpulkan bahwa Atlantis itu adalah Indonesia. Sistem terasisasi sawah yang khas Indonesia, menurutnya, ialah bentuk yang diadopsi oleh Candi Borobudur, Piramida di Mesir, dan bangunan kuno Aztec di Meksiko.
Santos menetapkan bahwa pada masa lalu Atlantis itu merupakan benua yang membentang dari bagian selatan India, Sri Lanka, Sumatra, Jawa, Kalimantan, terus ke arah timur dengan Indonesia (yang sekarang) sebagai pusatnya. Di wilayah itu terdapat puluhan gunung berapi yang aktif dan dikelilingi oleh samudera yang menyatu bernama Orientale, terdiri dari Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.
Sedangkan menurut Plato Atlantis merupakan benua yang hilang akibat letusan gunung berapi yang secara bersamaan meletus. Pada masa itu sebagian besar bagian dunia masih diliput oleh lapisan-lapisan es (era Pleistocene). Dengan meletusnya berpuluh-puluh gunung berapi secara bersamaan yang sebagian besar terletak di wilayah Indonesia (dulu) itu, maka tenggelamlah sebagian benua dan diliput oleh air asal dari es yang mencair. Di antaranya letusan gunung Meru di India Selatan dan gunung Semeru/Sumeru/Mahameru di Jawa Timur. Lalu letusan gunung berapi di Sumatera yang membentuk Danau Toba dengan pulau Somasir, yang merupakan puncak gunung yang meletus pada saat itu. Letusan yang paling dahsyat di kemudian hari adalah gunung Krakatau (Krakatoa) yang memecah bagian Sumatera dan Jawa dan lain-lainnya serta membentuk selat dataran Sunda.
Santos berbeda dengan Plato mengenai lokasi Atlantis. Ilmuwan Brazil itu berargumentasi, bahwa pada saat terjadinya letusan berbagai gunung berapi itu, menyebabkan lapisan es mencair dan mengalir ke samudera sehingga luasnya bertambah. Air dan lumpur berasal dari abu gunung berapi tersebut membebani samudera dan dasarnya, mengakibatkan tekanan luar biasa kepada kulit bumi di dasar samudera, terutama pada pantai benua. Tekanan ini mengakibatkan gempa. Gempa ini diperkuat lagi oleh gunung-gunung yang meletus kemudian secara beruntun dan menimbulkan gelombang tsunami yang dahsyat. Santos menamakannya Heinrich Events.
Dalam usaha mengemukakan pendapat mendasarkan kepada sejarah dunia, tampak Plato telah melakukan dua kekhilafan, pertama mengenai bentuk/posisi bumi yang katanya datar. Kedua, mengenai letak benua Atlantis yang katanya berada di Samudera Atlantik yang ditentang oleh Santos. Penelitian militer Amerika Serikat di wilayah Atlantik terbukti tidak berhasil menemukan bekas-bekas benua yang hilang itu. Oleh karena itu tidaklah semena-mena ada peribahasa yang berkata, “Amicus Plato, sed magis amica veritas.” Artinya,”Saya senang kepada Plato tetapi saya lebih senang kepada kebenaran.”
Namun, ada beberapa keadaan masa kini yang antara Plato dan Santos sependapat. Yakni pertama, bahwa lokasi benua yang tenggelam itu adalah Atlantis dan oleh Santos dipastikan sebagai wilayah Republik Indonesia. Kedua, jumlah atau panjangnya mata rantai gunung berapi di Indonesia. Di antaranya ialah Kerinci, Talang, Krakatoa, Malabar, Galunggung, Pangrango, Merapi, Merbabu, Semeru, Bromo, Agung, Rinjani. Sebagian dari gunung itu telah atau sedang aktif kembali.
Dan kebenaran yang pasti tentang keberadaan benua Atlantis pun masih misteri hingga kini. Kira-kira bagaimana kehidupan bangsa Atlantis dan bagaimana mereka musnah?

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Exoplanet WASP 12b, Sebuah Dunia Karbon

Di tahun 2008, sebuah planet yang luar biasa panas berhasil ditemukan. Planet dengan temperatur 2250 °C ini berada sangat dekat dengan bintang induknya yang sedang menuju pada devile kematiannya.
Karbon di Atmosfer WASP 12b
Ilustrasi planet WASP 12b dan bintang induknya. kredit : NASA/JPL-Caltech/R. Hurt (SSC)
Paparan kisah menarik tentang planet gas raksasa super panas ini berhasil diungkap setelah Nikku Madhusudhan dari Massachusetts Institute of Technology, Cambridge, beserta rekan-rekannya melakukan analisa lanjutan dengan menggunakan pengukuran yang sudah dilakukan dalam pengamatan planet WASP 12b sebelumnya disertai pengukuran baru yang juga dilakukan dengan menggunakan Teleskop Ruang Angkasa Spitzer milik NASA.
Hasilnya, atmosfer di planet WASP 12b memiliki lebih banyak karbon dibanding oksigen, sesuatu yang tak pernah dilihat sebelumnya. Sebagian besar model mengasumsikan adanya kemiripan dengan planet kebumian di Tata Surya, dengan perbandingan karbon setengah dari kandungan oksigen di atmosfer.
Menurut Nikku Madhusudhan dari Massachusetts Institute of Technology, Cambridge, “planet yang kaya karbon ini sangat eksotik dalam segala hal — baik pembentukan interior dan atmosfer.”
Mengapa eksotik? Diperkirakan di bagian dalam planet WASP 12b atau di bawah lapisan gasnya,  terdapat grafit, berlian atau bentuk eksotik lainnya yang terbentuk dari karbon. Sayangnya, saat ini kemampuan teknologi yang ada masih belum memungkinkan bagi para astronom untuk bisa melakukan pengamatan pada inti exoplanet.
Kondisi atmosfer WASP 12b yang karbonnya melimpah memberi implikasi pada inti planet yang padat tidak kaya dengan silikat (mineral yang tersusun dari silikon dan oksigen) seperti halnya Bumi. Inti planet WASP 12b ini justru kaya dengan karbon. Diperkirakan gunung berlian atau grafit juga ada di planet tersebut. Dan jika ada kehidupan yang terbentuk maka kehidupan itu tentunya berbasis karbon – metana dan bukan air atau oksigen.

Mencari pembanding di Tata Surya

Karbon merupakan komponen umum yang ada di sistem keplanetan sekaligus menjadi kunci resep kehidupan di Bumi. Untuk itu para astronom melakukan pengukuran perbandingan karbon terhadap oksigen untuk dapat memahami kimiawi bintang.
Matahari memiliki perbandingan karbon/oksigen 1 : 2 yang artinya ia memiiki karbon setengah dari kandungan oksigen. Dan sampai saat ini belum ada planet di Tata Surya yang diketahui memiliki lebih banyak karbon dari oksigen.
Kurangnya data perbandingan karbon/oksigen dari planet  di Tata Surya menyebabkan  sulit dilakukan pembandingan antara WASP 12b dengan planet gas raksasa di Tata Surya. Satu-satunya analog yang bisa digunakan adalah Jupiter.  Akan tetapi jawaban pasti mengenai perbandingan kedua unsur tersebut di Jupiter pun belum bisa dipastikan.
Angka perbandingan untuk planet-planet gas raksasa memang belum diketahui. Berbeda dengan WASP-12b, planet gas raksasa di Tata Surya mengandung air – unsur utama yang membawa oksigen – di kedalaman atmosfernya sehingga sulit dideteksi. Pengamatan spektroskopik yang dilakukan tidak dapat menentukan dengan pasti perbandingan karbon/oksigen karena sebagian besar oksigen terperangkap dalam air, yang sudah mengembun keluar dari atmosfer akibat kondisi Jupiter yang sangat dingin.
Usaha untuk menyelesaikan kekurangan ini sedang dlakukan oleh Atreya yang merupakan salah satu peneliti dari misi Juno yang akan diluncurkan tahun 2011 dan tiba di Jupiter tahun 2016 untuk melakukan pemetaan air dan kelimpahan oksigen.  Jika Jupiter ternyata kaya dengan karbon seperti halnya WASP 12b, maka bisa diartikan bahwa benda kecil yang menjadi asal muasal pembentukan sebagian planet di sistem keplanetan merupakan ter kaya karbon dan bukan es.
Sumber : NASA, Nature
Tags: , , ,

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Gerhana Bulan Total di Penghujung 2010

Di penghujung tahun 2010, sebelum kita mengakhiri tahun ini ada satu lagi fenomena astronomi yang dapat dinikmati.  Fenomena langit tersebut adalah Gerhana Bulan Total yang akan terjadi pada tanggal 21 Desember 2010, beberapa jam sebelum Winter Solstice (23.38 UT atau 22 Desember 06.38)  saat  Matahari mencapai deklinasi paling selatan.
Gerhana Bulan Total di bulan Desember 2010 ini akan tampak bagi para pengamat di Amerika Utara. Gerhana ini terjadi saat Bulan berada pada titik turun di timur Taurus, 4 hari sebelum Bulan berada pada titik terdekat dari Bumi.
Tahapan Gerhana Bulan Total 21 Desember 2010. Kredit : NASA

Gerhana Bulan Seri Saros 125

Gerhana Bulan Total 21 Desember 2010 merupakan bagian dari keluarga gerhana dengan siklus Saros 125, yang memiliki 72 seri gerhana yakni 17 gerhana  penumbral, 13 gerhana  sebagian, 26 gerhana total, 9 gerhana sebagian dan 7 gerhana penumbral. Dan gerhana berikutnya yang berasal dari siklus Saros yang sama akan terjadi 18 tahun 11 hari 8 jam lagi.
Maknanya adalah, kedua gerhana yang terpisah selama 1 periode saros (18 tahun 11 hari 8 jam) akan memiliki geometri gerhana yang sama. Atau dengan gerhana bulan seri saros 125 berikutnya yang akan terjadi 18 tahun lagi akan terjadi saat Bulan berada pada jarak yang hampir sama dari Bumi pada waktu yang sama di tahun saat terjadi gerhana seri saros sebelumnya.
Satu seri Saros memiliki 70 atau lebih gerhana Bulan dan akan berlangsung selama 12-15 abad. Gerhana Bulan dalam seri Saros 125 semuanya terjadi saat Bulan berada pada titik turun dan bergerak ke arah utara dalam setiap Gerhana.
Seri 125 ini dimulai dengan Gerhana Bulan Penumbral 17 Juli 1163 dan baru akan berakhir pada tanggal 9 September 2443 dengan Gerhana Penumbral. Durasi total seri Saros 125 ini berlangsung selama 1280.14 tahun.
Tahapan Gerhana Bulan Total
Gerhana Bulan Total 2010 secara keseluruhan, akan berlangsung selama 72 menit dimulai saat Bulan memasuki bayangan Bumi.
Gerhana Penumbral dimulai:   12:29:17 wib
Gerhana Sebagian dimulai:       13:32:37 wib
Gerhana Total dimulai:              14:40:47 wib
Puncak Gerhana:                         15:16:57 wib
Gerhana Total Berakhir:            15:53:08 wib
Gerhana Sebagian Berakhir:     17:01:20 wib
Gerhana Penumbral Berakhir:  18:04:31 wib
Secara keseluruhan, gerhana ini akan tampak dari Amerika Utara dan Amerika Selatan. Pengamat di sepanjang pantai timur Amerika Selatan tidak akan dapat menikmati tahap akhir gerhana, karena Bulan sudah terbenam.
Jalur yang dilalui Gerhana Bulan Total 21 Desember 2010. Kredit : NASA
Bagi pengamat di Eropa dan Afrika, Bulan akan terbenam saat gerhana masih berlangsung. Hanya masyarakat Skandinavia Utara di Eropa yang bisa menikmati seluruh tahapan gerhana bulan tersebut.
Di Asia bagian timur, Bulan terbit dalam kondisi sedang mengalami Gerhana sedagkan bagi masyarakat di Afrika Timur, Afrika Selatan, Timur Tengah dan Asia Selatan, Gerhana tidak akan tampak.
Bagaimana dengan Indonesia ?
Bagi pengamat di Indonesia, Bulan terbit saat sedang berada pada tahap akhir Gerhana Bulan. Untuk Indonesia bagian barat, Bulan terbit tepat setelah Gerhana Penumbral berakhir. Sedangkan untuk pengamat di Indonesia bagian tengah, Bulan terbit saat Gerhana Sebagian Berakhir. Dan bagi pengamat di Indonesia bagian timur, Bulan terbit setelah Gerhana Total berakhir sehingga masih dapat menikmati tahap akhir Gerhana Bulan.
Clear Sky!
Tags: , ,

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Exoplanet Qatar-1b, Tidak Ada Batasan Dalam Sains

Perkembangan dunia extrasolar planet memang melesat dengan cepat semenjak tahun 1995. Setiap planet yang ditemukan jelas punya keunikannya sendiri. Dan hal menarik lain adalah, para penemu planet baru tersebut bukan hanya monopoli satu negara atau benua. Kita tahu, kalau ada penemu dari Asia atau lebih spesifik lagi dari Indonesia.Nah, kali ini ada sebuah penemuan menarik lainnya yang juga membawa latar kerjasama internasional antara astronom Qatar dan para ilmuwan di Harvard-Smithsonian Center for Astrophysics (CfA). Hal menarik dari penemuan planet Jupiter panas baru tersebut, ia menyandang nama Qatar-1b.
Planet Tanpa Batas …
Ilustrasi planet Qatar-1b. Kredit : David A. Aguilar (CfA)
Apa istimewanya? Dari nama ini yang ingin disampaikan adalah penemuan planet pana seukuran Jupiter ini menunjukkan kalau kekuatan sains itu melintasi batas politik sekaligus meningkatkan ikatan antar bangsa. Penemuan planet Qatar-1b tak pelak menjadi contoh bagaimana sains dan komunikasi modern bisa menghapus batasan dan zona waktu. Tidak ada yang bisa memiliki bintang dan semua lapisan masyarakat jelas akan terinspirasi dari penemuan dunia lain yang berada demikian jauh.
Selain itu, menurut Dr. Khalid Al Subai pimpinan tim survei exoplanet Qatar dan direktur Qatar Foundation for Education, Science and Community Development, “penemuan planet oleh astronom Qatar juga menunjukkan komitmen dan keseriusan Qatar untuk menjadi pemimpin dalam hal inovasi sains dan riset.”
Tak hanya itu, penemuan ini sekaligus menandai awal era baru kerjasama riset astrofisika antara Qatar, Inggris dan Amerika.

Planet yang ditemukan

Tim suvei exoplanet Qatar dalam penelitiannya, memburu bintang yang berkedip atau yang meredup sesaat lamanya setiap kali ada planet yang mengorbit dirinya dan menciptakan gerhana kecil saat melintasi wajah bintang seperti yang dilihat dari Bumi. Pencarian dengan metode transit harus menyaring ribuan bintang untuk mendapatkan fraksi kecil dengan planet terdeteksi. Pengamatan dan analisa yang tidak mudah justru menciptakan peluang terjadinya kerjasama antar bangsa.
Qatar-1b ditemukan dengan menggunakan kamera medan lebar milik Qatar yang berada di New Mexico saat ia memotret langit kala cerah di awal tahun 2010. Citra yang diambil kemudian di kirim ke Inggris untuk dianalisis oleh para astronom dari St. Andrews, Universitas Leicester dan dari Qatar. Hasil analisa para astronom ini kemudian menyisakan beberapa ratus kandidat bintang yang mungkin memiliki planet.
Tim dari Harvard-Smithsonian bersama Dr. Al Subai kemudian menindaklanjuti kandidat-kandidat bintang yang diperkirakan memiliki kemungkinan paling tinggi untuk memiliki planet. Mereka kemudian melakukan pengamatan spektroskopik dengan teleskop 60 inci di Smithsonian’s Whipple Observatory, Arizona.
Pengamatan seperti ini dapat menyaring bintang ganda dengan jejak gerhana yang meniru transit planet. Tim ini juga melakukan pengukuran pada peredupan bintang lebih akurat dengan teleskop Whipple 48 inci.
Hasilnya, dikonfirmasikan keberadaan planet yang disebut Qatar-1b mengorbit bintang oranye tipe K yang berada pada jarak 550 tahun cahaya. Qatar-1b merupakan planet gas yang 20% lebih besar dari Jupiter dalam hal diameter dan lebih masif 10%. Ia mengorbit bintang induknya pada jarak 2,2 juta mil atau 3,5 juta km. Dan yang pasti sesuai jenisnya sebagai planet gas panas, suhu di planet Qatar-1b juga mencapai 1093 derajat Celcius.
Planet Qatar-1b menyelesaikan putarannya pada bintang induk setiap 1,4 hari atau “1 tahun di Qatar-1b” hanya 34 jam. Planet ini juga diperkirakan berada dalam kondisi terkunci secara gravitasi dengan bintang, sehingga satu sisi planet akan selalu berhadapan dengan wajah bintang. Akibatnya, planet akan berputar pada sumbunya setiap 34 jam atau 3 kali lebih lambat dari Jupiter yang berotasi dalam 10 jam.
Sumber : CfA
Tags: , , , ,

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Lingkaran Konsentris, Bukti Aktivitas Sebelum Dentuman Besar

Gambaran manusia tentang alam semesta dini bisa jadi penuh dengan lingkaran misterius atau bahkan mungkin segitiga. Tapi hal tersebut tidak berarti kita sedang melihat bukti peristiwa yang terjadi sebelum dentuman besar.
WMAP. Sumber NASA
Itulah kira-kira yang jadi topik bahasan 3 makalah yang membahas klaim cincin konsentris dari temperatur seragam dalam latar belakang gelombang mikro kosmik (CMB). Radiasi yang menjadi jejak dari Dentuman Besar atau malah itu merupakan tanda dari tabrakan lubang hitam dalam kosmik aeon sebelumnya yang ada sebelum Alam Semesta. Ide provokatif ini datang dari Vahe Gurzadyan (Yerevan Physics Institute di Armenia) dan  Roger Penrose dari University of Oxford, UK.

Tabrakan Lubang Hitam

Dalam makalah yang dibuat oleh Vahe Gurzadyan dan Roger Penrose, dikemukakan bahwa tabrakan benda hitam supermasif sebelum Dentuman Besar akan menciptakan gelombang gravitasi yang tersebar dalam bentuk bola yang kemudian meninggalkan jejak berbentuk lingkaran dalam CMB.
Untuk bisa membuktikan klaim tersebut, Gurzadyan memeriksa data dari satelit Wilkinson Microwave Anisotropy Probe (WMAP) selama 7 tahun. Dengan data ini, Ia menghitung perubahan pada variasi temperatur dalam cincin yang besar di sekitar leih dari 10000 titik di langit gelombang mikro.  Dan dalam perhitungannya itu, Gurzadyan berhasil mengidentifikasi sejumlah cincin dalam data WMAP yang variasi temperaturnya lebih rendah dari langit di sekitarnya.

Siklus Kosmik

Sebagian besar kosmolog senantiasa berpikir kalau alam semesta yang di dalamnya terdapat ruang dan waktu, meledak menjadi wujudnya sekitar 13,7 milyar tahun saat terjadi Dentuman Besar. Dan semenjak itu alam semesta pung mengembang. Komponen penting dalam model kosmologi standar  – diperlukan untuk menjelaskan mengapa alam semesta demikian seragam – adalah periode singkat dalam alam semesta yang mengalami pengembangan super cepat atau yang dikenal sebagai inflasi.  Kejadian pengembangan alam semesta dalam hitungan tidak sampai 1 detik atau jauh lebih cepat dari sekali kedipan mata anda.
Menurut Penrose, keseragaman dalam alam semesta bukanlah berasal dari sebelum Dentuman Besar, melainkan dari akhir kejadian aeon sebelumnya yang melihat pengembangan alam semesta jadi besar tak berbatas dan sangat halus. Aeon tersebut pada gilirannya lahir dalam Dentuman Besar yang muncul dari akhir aeon awal dan seterusnya, sehingga menciptakan siklus yang berpotensial tidak terbatas, sekaligus tak berawal dan tak berakhir. Atau dengan kata lain sebuah siklus abadi.
Lebih sederhananya, alam semesta dalam perjalanannya dari awal hingga akhir akan berada dalam satu siklus. Nah, yang dimaksutkan adalah setiap siklus akan berakhir dengan dentuman besar yang kemudian mengawali siklus yang baru. Dalam pemodelan seperti ini, alam semesta akan tampak seperti dunia boneka Rusia, dengan seluruh alam semesta yang ada sebelumnya berada dalam alam semesta yang sekarang.  Dalam dunia boneka Rusia, ketika dibuka ada boneka lain di dalamnya dan demikian seterusnya.
Ide Gurzadyan dan Penrose justru ditantang oleh hasil penelitian lainnya yag dilakukan oleh 3 kelompok berbeda. Ketiga kelompok tersebut melakukan reproduksi analisa Gurzadyan pada data WMAP dan menemukan juga kalau data yang ada mengandung lingkaran yang bervariasi rendah. Yang menjadi titik perbedaannya adalah pada peran penting yang bisa didapatkan dari pemahaman lingkaran-lingkaran tersebut.
Lingkaran Penuh Arti
Gurzadyan juga melakukan perbandingan antara lingkaran yang diamati dengan simulasi latar belakang gelombang mikro kosmik yang fluktuasi temperaturnya memiliki skala invarian, yang artinya kelimpahannya tidak bergantung pada ukuran.  Ia juga menemukan tidak ada pola khusus.  Kelompok lain yang tidak sependapat mengkritik kalau apa yang sedang diajukan oleh Gurzadyan bukanlah latar belakang gelombang mikro kosmik (CMB) yang seharusnya.
Menurut kelompok tersebut, data WMAP jelas menunjukkan ada lebih banyak bintik panas dan dingin pada skala sudut yang lebih kecil. Karena itu tidaklah tepat mengasumsikan langit gelombang mikro isotropik.
Ketiga kelompok peneliti lainnya yang mencari pola lingkaran berbeda dalam simulasi latar belakang gelombang mikro kosmik yang menjadi sifat dasar dari Inflationary Universe atau Alam Semesta Mengembang Dengan Sangat Cepat, juga menemukan lingkaran yang serupa dengan yang ada pada data WMAP. Moss dan rekan-rekannya, salah satu kelompok dari 3 kelompok tersebut juga menemukan kalau  data observasi dan simulasi Inflationary Universe memiliki area konsentris ragam rendah dalam bentuk segitiga sama sisi.
Menurut James Zibin dari University of British Columbia, Vancouver, Canada, “Hasil yang didapat oleh Gurzadyan dan Penrose belum memberi bukti untuk model siklus Penrose terhadap inflasi standar yang sudah dikenal.”
Menanggapi kritik terhadap analisanya, Gurzadyan memberi argumentasi masih ada ikatan persetujuan antara model kosmologi standar  dan data WMAP pada level tertentu. Sementara model berbeda seperti model Penrose bisa jadi justru sesuai dengan data atau bahkan lebih baik lagi.  Gurzadyan juga tidak memberi pernyataan bahwa lingkaran yang ia temukan itu merupakan bukti dari model Penrose.
Katanya, “kami telah menemukan tanda yang membawa serta sifat yang diprediksi oleh model Penrose.”
Sumber : Nature, ArXiV : Concentric Circles In WMAP Data May Provide Evidence Of Violent Pre-Big-Bang Activity
Tags: , , , , ,

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Ditemukan bentuk kehidupan yang lain daripada yang lain

Seringkali kita bertanya apakah di luar Bumi kita ini ada kehidupan lain ataukah tidak. Membayangkan bahwa kita ini hanya sendirian di alam semesta yang begitu luasnya ini terasa begitu menyeramkan, namun hingga kini kita belum menemukan bukti adanya kehidupan (bahkan yang paling sederhana pun) di luar Bumi.
Semenjak sekitar lima puluh tahun lalu, manusia mulai menggunakan teleskop radio untuk mencari kehidupan cerdas di luar Bumi. Hingga kini sudah ada beberapa program pencarian kehidupan cerdas, namun hingga kini belum ada hasil. Dari ranah teoritis, hipotesis juga dibangun misalnya dengan memprediksi berapa jumlah kehidupan cerdas yang dapat muncul di alam semesta seperti yang kita huni. Namun persoalan ini pada umumnya terantuk pada satu permasalahan mendasar: kehidupan seperti apa yang kita maksud? Berhubung hingga saat ini kita tidak memiliki konsensus mengenai definisi kehidupan, dan juga karena kita hanya mengenal kehidupan di Bumi, maka definisi kehidupan dalam konteks ini adalah “kehidupan sebagaimana kita ketahui” (life as we know it).

Mono Lake di California, Amerika Serikat. Danau ini memiliki kadar arsenik yang tinggi dan oleh karena itu dipilih sebagai lokasi penelitian. Sumber: NASA.
Definisi itu kini telah diperluas dengan ditemukannya jasad renik yang menggunakan arsenik sebagai bagian dari metabolismenya. Di sebuah danau bernama Mono Lake di California, Amerika Serikat, sekelompok peneliti yang dibiayai NASA menemukan mikroorganisme pertama yang diketahui dapat hidup dan bereproduksi dengan menggunakan unsur beracun (bagi kehidupan lain). Selama ini, kehidupan sebagaimana kita ketahui mengandung enam unsur dasar: Karbon, Hidrogen, Nitrogen, Oksigen, Fosfor, dan Belerang. Fosfor adalah bagian penting dalam DNA dan RNA, yang merupakan struktur dasar setiap bentuk kehidupan di Bumi dan membawa informasi genetik suatu jasad.
Dalam setiap sel makhluk hidup terdapat molekul-molekul bernama ATP yang bertugas menyalurkan energi. Komponen penting molekul ini adalah Fosfor. Secara kimia, struktur Arsenik sama dengan Fosfor, namun Arsenik beracun bagi kebanyakan makhluk hidup di Bumi.
Gambar atas adalah mikroba yang dikembangbiakkan oleh fosfor. Gambar bawah adalah mikroba yang sama yang dikembangbiakkan oleh arsenik. Mikroba ini masih tetap berkembang bila dikembangbiakkan oleh arsenik. Perhatikan skalanya dalam mikron atau sama dengan satu per sepuluh ribu centimeter. Mikroba ini jauh lebih kecil daripada ketipisan rambut manusia (sekitar 17 hingga 180 mikron). Sumber: NASA
Beberapa jasad renik memiliki kemampuan untuk berfotosintesis dengan menggunakan arsenik karena ketiadaan oksigen, namun jasad renik yang ditemukan di Mono Lake ini menggunakan arsenik sebagai bagian dari dirinya. Arsenik menjadi salah satu komponen penyusun DNA dan RNA jasad renik ini. Mono Lake sendiri dipilih sebagai lokasi penelitian karena danau ini memliki kadar garam yang tinggi, zat alkali yang tinggi, dan juga kandungan arsenik yang tinggi. Susunan kimia yang tak biasa ini adalah karena Mono Lake sudah terisolisasi dari sumber-sumber air bersih selama 50 tahun.
Mikroba yang disebut GFAJ-1 ini adalah anggota dari sekelompok bakteri yang dinamakan Gammaproteobacteria. Bakteri ini dibawa ke laboratorium lalu diberi “makanan” yang sangat sedikit fosfor namun mengandung banyak arsenik. Ketika fosfor dihilangkan dari menu dan diganti seluruhnya dengan arsenik, mikroba tersebut terus berkembang (gambar ada di samping). Ternyata komponen arsenik tersebut diikutkan ke dalam struktur mikroba tersebut lain, antara lain ke dalam DNA, protein, dan membran sel.
Penemuan ini telah membuka wawasan kita mengenai definisi kehidupan. Ternyata kehidupan dapat muncul dari kondisi yang tidak berkenan bagi kehidupan model lain. Bila di Planet Bumi kehidupan seperti ini dapat tumbuh subur, bukan tidak mungkin jasad renik semacam ini pun dapat muncul di planet lain. Dengan kata lain, bentuk kehidupan yang dapat muncul di alam ini dapat sangat berbeda dengan yang selama ini kita ketahui. Kehidupan berbasis karbon kini bukan satu-satunya alternatif yang ada.
Sewaktu kecil saya menonton salah satu episode serial Star Trek mengenai kehidupan berbasis silikon. Spock melakukan peleburan pikiran (mind meld) dengan makhluk ini dan menyadari bahwa kehidupan ini adalah kehidupan cerdas. Dua tahun lalu, saat saya sedang mengambil S2 di Observatorium Leiden, seorang ahli kimia organik memberikan kolokium dan mengatakan bahwa kehidupan berbasis silikon adalah fiksi ilmiah dan tidak mungkin muncul. Saya kini ingin tahu apa pendapatnya setelah adanya penemuan di Mono Lake ini.
Sumber: NASA-Funded Research Discovers Life Built With Toxic Chemical

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Hujan Meteor Geminid 2010

Di penghujung tahun 2010, atau tepatnya semenjak tanggal 7 – 17 Desember 2010, hujan meteor Geminid kembali mengunjungi penduduk Bumi saat melintasi pecahan asteroid 3200 Phaethon.  Hujan meteor Geminid merupakan salah satu hujan meteor yang dinantikan karena intensitasnya yang terus meningkat dalam dekade ini dan diharapkan tren yang sama masih akan diteruskan.
Di tahun 2010, Hujan meteor Geminid akan megalami puncaknya pada tanggal 13 – 14 Desember, bertepatan dengan Bulan kuartir pertama.  Untuk itu kesempatan yang baik untuk melakukan pengamatan bisa dilakukan setelah lewat tengah malam (00.00 wib) ketika Bulan sudah terbenam dan tidak ada lagi cahaya Bulan yang mengganggu.
Hujan meteor Geminid dapat diamati di seluruh wilayah Indonesia. Rasi Gemini yang menjadi radian atau arah munculnya hujan meteor ini akan terbit pada jam 20.00 wib di arah timur. Pengamatan bisa dimulai setelah jam 22.00 wib setelah rasi Gemini berada sekitar 30 derajat di atas horison. Menurut perkiraan International Meteor Organization, di saat maksimum meteor yang akan terlihat bisa mencapai 120 meteor per jam, pada tanggal 14 Desember jam 16.00 UT atau jam 23.00 wib.
Rasi Gemini akan tampak di timur dan terbit jam 19.00 wib. kredit : Starwalk
Hujan Meteor Geminid akan tampak muncul dari rasi Gemini. kredit : StarWalk
Meteor yang tampak dari rasi Gemini ini berasal dari sisa pecahan obyek yang dikenal sebagai 3200 Phaethon, yang dulunya diperkirakan merupakan asteroid. Saat ini Phaethon sudah menjadi komet yang punah. Jadi sebenarnya, ia adalah kerangka batuan dari komet yang sudah kehilangan es setelah berkali-kali melintas Matahari dari dekat.
Nah, Bumi yang melintas dalam aliran puing-puing 3200 Phaethon setiap tahun pada pertengahan Desember akan menyebabkan puing-puing itu terbang dari rasi Gemini. Tepatnya di dekat bintang terang Castor dan Pollux.
Meteor Geminid pertama kali terlihat pada akhir abad ke-19, tak lama setelah perang sipil di Amerika berakhir. Pada saat pertama muncul, hujan meteornya masih lemah dan tidak terlalu menarik perhatian. Pada saat itu debu yang masuk atmosfer Bumi itu hanya bergerak dengan kecepatan 130000 km/jam.
Di masa itu, sama sekali tak nampak kalau hujan meteor ini akan berlangsung setiap tahun. Yang menarik, saat ini hujan meteor Geminid merupakan salah satu hujan meteor yang cukup kuat dan menarik perhatian para pengamat. Bahkan ia semakin kuat dari tahun ke tahun. Hal ini disebabkan oleh gravitasi Jupiter yang berlaku pada aliran puing-puing Phaethon dan menyebabkan mereka bergeser mendekati orbit Bumi.
Meteor Geminid sendiri masih tergolong meteor dengan kecepatan menengah pada kisaran 35 km / detik, sehingga akan mudah dikenali di bentangan langit malam.
Tags: , , ,

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Planet Dari Galaksi Lain Ditemukan di Bima Sakti

Satu lagi penemuan baru dalam dunia extrasolar planet diumumkan malam ini. Penemuan kali ini menarik, karena bisa member gambaran tentang evolusi Tata Surya di masa mendatang khususnya untuk planet-planet gas raksasa yang tengah mengitari Matahari.
Bintang itu dari Extragalaksi
Ilustrasi sistem HIP 13044. kredit : ESO/L. Calçada
Lebih dari 15 tahun para astronom telah berhasil mendeteksi lebih dari 500 planet yang mengitari bintang lain di lingkungan kosmik, namun belum ada yang berhasil menemukan planet di galaksi lain.
Exoplanet yang baru ini ternyata mengorbit sebuah bintang yang berasal dari extragalaksi (galaksi lain) tapi kemudian masuk menjadi bagian dari galaksi Bima Sakti. Hal menarik lainnya, exoplanet ini mengorbit sebuah bintang yang sudah mendekati masa akhir hidupnya. Exoplanet ini juga bisa jadi akan mengakhiri hidupnya dengan ditelan oleh bintang yang ia kitari.
Planet tersebut bergerak mengelilingi sebuah bintang yang dikenal berada dalam aliran Helmi. Bintang-bintang dalam aliran Helmi merupakan kelompok bintang berasal dari galaksi katai yang kemudian ditelan oleh Bima Sakti, sebagai aksi kanibalisme sekitar 6 – 9 milyar tahun lalu.
Menurut Rainer Klement dari Max-Planck-Institut für Astronomie (MPIA) yang bertanggungjawab untuk memilih target bintang, “Inilah untuk pertama kalinya para astronom berhasil mendeteksi sistem keplanetan dalam aliran bintang yang asalnya dari galaksi lain. Sebenernya karena masalah jarak yang sangat jauhlah maka sampai sekarang belum ada konfirmasi hasil pendeteksian planet di galaksi lain. Namun dalam penggabungan kosmik seperti inilah, planet di extragalaksi bisa berada dalam jangkauan kita.”
Bintang yang jadi induk dari planet baru tersebut dikenal sebagai HIP 13044, dan berada pada jarak 2000 tahun cahaya dari Bumi di selatan rasi Fornax (si tungku perapian). HIP 13044 bukan lagi bintang muda yang masih segar seperti halnya Matahari. Ia sudah ada di masa tuanya dan menuju pada akhir hidup. Saat ini HIP 13044 berada dalam fase raksasa merah, fase ketika bintang sudah kehabisan hidrogen di inti dan kemudian mengembang. Pada fase ini bintang HIP 13044  kembali berkontraksi dan mulai melakukan pembakaran helium di inti.
HIP 13044 b Cerminan Masa Depan Jupiter?
Citra medan lebar pada cahaya tampak dari area disekeliling HIP 13044. Kredit : ESO & Digitized Sky Survey 2. Acknowledgment: Davide De Martin
Exoplanet yang memiliki massa minimum 1,25 massa Jupiter ini merupakan planet pertama pada sistem keplanetan bintang HIP 13044 dan disebut sebagai planet  HIP 13044 b. Pendeteksian HIP 13044 b dilakukan melalui teknik kecepatan radial, dimana para pengamat mendeteksi planet dari wobble (getaran) yang sangat kecil yang terjadi pada bintang sebagai akibat tarikan gravitasi dari obyek yang mengorbit dirinya.  Untuk bisa mendapatkan pengamatan yang presisi tim pengamat menggunakan spektograf FEROS (Fibre-fed Extended Range Optical Spectrograph) yang dipasang pada teleskop MPG/ESO 2,2 meter di ESO La Silla Observatory, Chile.
Yang menarik dari HIP 13044 b adalah keberhasilannya untuk selamat dari periode ketika bintang induknya mengembang setelah kehabisan persediaan hidrogen di inti. Hanya beberapa planet yang berhasil melewati masa peralihan tersebut dengan selamat.  Sampai saat ini, bintang yang berada pada cabang horisontal masih belum terpetakan seuruhnya oleh para pemburu planet.
Menurut Johny Setiawan, astronom MPIA yang juga pimpinan penelitian, “penemuan ini merupakan bagian dari kajian sistematik untuk mencari exoplanet yang mengorbit bintang-bintang yang mendekati akhir hidupnya.  Dan yang penemuan ini jadi sangat menarik jika kita juga mempertimbangkan masa depan Tata Surya saat Matahari memasuki masa tuanya sebagai bintang raksasa merah sekitar 5 milyar tahun dari sekarang.”
HIP 13044 b berada sangat dekat dengan bintang induknya. Bahkan pada posisi terdekatnya (perihelion), jaraknya hanya 0,055 jarak Matahari – Bumi (8.250.000 km) atau kurang dari diameter bintang dari permukaan bintang.  Planet ini menghabiskan waktu 16,2 hari untuk menyelesaikan putarannya pada bintang.
Hipotesa yang dilakukan Johny dan timnya menunjukkan kalau orbit planet HIP 13044 b pada awalnya jauh lebih besar namun kemudian bergerak semakin mendekati bintang selama fase raksasa merah berlangsung.
Planet-planet lain yang bergerak mendekat bisa jadi tidak seberuntung HIP 13044, karena bintang di cabang horisontal bergerak relatif cepat. Menurut Johny, salah satu penjelasan mengapa HIP 13044 berputar lebih cepat adalah karena ia melahap planet-planet dalam.
Meskipun saat ini HIP 13044 b bisa lolos dari dari nasib yang sudah dialami planet dalam, bintang HIP 13044 masih akan mengembang pada tahap evolusi berikutnya. Pada saat itu exoplanet HIP 13044 b juga akan mengalami nasib yang sama dan akan ditelan oleh sang bintang, artinya akhir hidup bagi si planet tersebut. Pertanyaannya apakah ini sebuah ramalan akan masa depan planet luar di Tata Surya, seperti Jupiter kala Matahari mendekati akhir hidupnya?
Pertanyaan lain yang timbul, adalah bagaimana planet raksasa terbentuk. Ini disebabkan karena si bintang induk hanya memiliki sedikit elemen yang lebih berat dari hidrogen.  Bahkan kandungannya lebih sedikit dari bintang lain yang diketahui memiliki planet.
Bagi Johny Setiawan dan rekan-rekannya hal ini merupakan teka-teki karena pemodelan pembentukan planet yang sudah diterima akan sulit menjelaskan bagaimana sebuah bintang yang hanya memiliki sedikit elemen berat bisa membentuk planet. Karena itu, tentu planet yang mengorbit bintang seperti ini terbentuk dengan cara yang berbeda.
Sumber : ESO
Tags: , , , , ,

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Memburu materi gelap: Satu gejala, Tiga teori

Bayangkan bila pada suatu hari kita mengetahui bahwa di tanah kosong di seberang rumah kita terdapat rumah yang ukurannya sama persis dengan rumah kita namun tersusun atas bahan tak terlihat. Bahan ini tak dapat dilihat oleh panca indera maupun oleh instrumen apapun, dan hanya bisa dideteksi melalui pengaruh gravitasi yang ditimbulkan bahan tersebut. Berita seperti ini pastilah mengagetkan.
Situasi seperti inilah yang dihadapi astronomi modern saat ini. Pengamatan modern menunjukkan bahwa hampir 95 persen dari alam semesta kita tersusun atas materi yang tak bisa kita pahami. Tentu saja bagi seorang astronom hal ini sangat mengagetkan. Semua yang kita amati di alam ini: planet, bintang, galaksi, gas dan debu, hanyalah 5 persen dari keseluruhan kandungan alam semesta. Astronom Inggris Martin Rees berkata, “cukup memalukan mengetahui bahwa 90% alam semesta ternyata belum diketahui.” Namun inilah ilmu pengetahuan, selalu menemukan hal baru untuk dijelajahi. Penelitian mengenai hakikat materi gelap dan energi gelap kini menempati garda depan penelitian astronomi.

Pengamatan materi gelap

Gugus Galaksi Coma dipotret oleh Teleskop Antariksa Hubble. Hampir semua objek yang ada di foto ini adalah Galaksi, masing-masing mengandung milyaran bintang. Galaksi-galaksi ini saling berinteraksi satu sama lain dalam ikatan gravitasi. Sumber: APOD.
Indikasi pertama mengenai adanya materi gelap diamati hampir 80 tahun lalu ketika astronom Swiss keturunan Bulgaria, Frits Zwicky, meneliti gerak galaksi-galaksi anggota Gugus Galaksi Coma. Dengan menggunakan spektrograf, Zwicky mengukur kecepatan gerak tujuh galaksi anggota gugus ini lalu—dengan menggunakan Hukum Newton—menghitung massa total Gugus ini berdasarkan kecepatan gerak mereka. Selanjutnya Zwicky mengukur seberapa terang galaksi-galaksi yang sama lalu menghitung berapa massa total Gugus berdasarkan kecerlangannya. Ternyata, “massa dinamika”, yaitu massa yang dihitung dari gerak galaksi-galaksi tersebut, empat ratus kali lebih besar daripada “massa cerlang” yang dihitung dari kecerlangan mereka!
Fritz Zwicky. Ini foto beliau yang sebenarnya, orangnya memang demikian.
Zwicky mengumumkan penemuan ini di hadapan rekan-rekannya dan menyimpulkan adanya “materi gelap” (istilah “materi gelap” atau dark matter diciptakan oleh Zwicky) yang tak bisa dideteksi instrumen namun bisa dirasakan pengaruh gravitasinya. Penemuan ini tak dipedulikan oleh rekan-rekannya karena pengukuran pada masa itu masih kurang teliti untuk bisa meneliti objek seredup Gugus Galaksi Coma, sehingga hasil-hasil Zwicky lebih dianggap sebagai efek kesalahan instrumen ketimbang sebuah gejala yang riil. Terlebih lagi, bagi banyak orang Zwicky bukanlah karakter yang menyenangkan karena sikapnya yang—dalam istilah orang Indonesia—nyolot. Tidak hanya ia pernah mengajak rekannya berkelahi namun juga ia sering menunjukkan kekuatan fisiknya dengan melakukan push-up satu tangan di ruang dosen Caltech, membuat beberapa rekannya merasa terancam dan tidak mau lagi bekerja sama dengannya. Namun demikian, Zwicky adalah astronom yang brilian dan kreatif. Ia tidak takut salah bila mencoba solusi yang dianggap tak wajar. Tidak hanya “materi gelap,” istilah “supernova” juga adalah buah tangannya.
Vera Rubin mengukur spektrum galaksi di tahun 1970an. Pada tahun 1948 ia ditolak masuk Universitas Princeton karena perempuan dianggap tidak mampu menempuh program pascasarjana. Ia memperoleh gelar PhD dari Universitas Georgetown pada tahun 1954.
Selama setengah abad berikutnya ide mengenai materi gelap dilupakan, sampai Vera Rubin—satu dari sedikit astronom perempuan pada masa itu—meneliti gerak bintang dan gas di beberapa galaksi di sekitar Galaksi Bima Sakti. Dengan menggunakan spektrograf, Rubin mengamati kecepatan gerak bintang-bintang di beberapa bagian dalam sebuah galaksi. Menurut Hukum Newton, semakin jauh sebuah objek berlokasi dari sebuah konsenstrasi massa, semakin lambat kecepatannya. Bumi, misalnya, bergerak mengitari Matahari dengan kecepatan rata-rata 30 km/s. Namun, Jupiter, karena letaknya lima kali lebih jauh dari jarak Bumi-Matahari, bergerak lebih lambat dengan kecepatan rata-rata 13 km/s. Hal yang sama juga berlaku dalam sistem galaksi. Kita melihat bahwa daerah pusat galaksi spiral lebih terang daripada daerah piringannya, dan semakin ke pinggir kecerlangan sebuah galaksi semakin meredup. Oleh karena itu wajarlah bila kita menyimpulkan bahwa lebih banyak massa terkonsentrasi di pusat galaksi daripada di pinggir, dan kita mengharapkan bahwa kecepatan rotasi bintang-bintang di pinggir galaksi akan lebih lambat daripada kecepatan rotasi bintang-bintang yang lebih ke pusat.
Akan tetapi kenyataan yang diamati Rubin sangatlah berbeda. Bintang-bintang di pinggir galaksi bergerak sama cepatnya dengan bintang-bintang yang lebih dekat ke pusat galaksi! Apabila bintang-bintang di pinggiran galaksi bergerak secepat ini, maka mereka seharusnya tercerai-berai. Namun tidak ada indikasi yang menunjukkan ini dan mereka tetap bergerak secara teratur, seolah-olah ada massa tambahan yang “mengikat” mereka sehingga tetap stabil. Adanya “massa tambahan” inilah yang kemudian dijelaskan sebagai adanya materi gelap.
Kurva rotasi Galaksi Bima Sakti. Sumber: Nick Strobel, www.astronomynotes.com
Dengan mengukur kecepatan rotasi di beberapa tempat di sebuah galaksi, Rubin dapat membuat sebuah grafik seperti di atas yang memetakan kecepatan rotasi galaksi di beberapa tempat relatif terhadap jaraknya dari pusat galaksi tersebut. Grafik seperti ini disebut kurva rotasi. Bila kita menghitung kecepatan rotasi hanya berdasarkan massa yang kita lihat yaitu bintang, gas, dan debu, maka kecepatan rotasi seharusnya menurun seiring dengan semakin jauhnya objek dari pusat galaksi. Namun kenyataannya kecepatan orbit objek-objek yang jauh dari pusat galaksi sama besarnya dengan kecepatan orbit objek-objek yang lebih dekat. Rubin memperkirakan bahwa massa tambahan yang tak terlihat ini mencapai 10 kali lipat dari massa yang terlihat dan terkonsentrasi di daerah tepi galaksi, di daerah yang disebut halo galaksi.
Komposisi alam semesta berdasarkan pengamatan dan perhitungan modern.
Keberadaan materi gelap kini tak bisa disangkal lagi karena pengamatan Vera Rubin lalu dikonfirmasi oleh astronom-astronom lain yang melakukan penelitian serupa pada galaksi-galaksi lain. Perhitungan modern kini menunjukkan bahwa alam semesta yang kita amati hanyalah sekitar 5% saja dari komposisi total alam semesta, sementara sekitar 25% adalah materi gelap dan 75% adalah “energi gelap” yang bertanggung jawab atas dipercepatnya ekspansi alam semesta.
Berikut ini saya akan membahas tiga calon penjelasan untuk “materi gelap,” tanpa ada urutan tertentu.

Teori pertama: Materi gelap adalah MACHO

“Massa yang hilang” ini dijelaskan secara sederhana sebagai objek-objek yang punya massa besar, sangatlah padat (compact), namun tak bercahaya atau sangat redup sehingga berada di luar batas kepekaan instrumen yang ada. Objek-objek seperti ini antara lain bintang katai putih, bintang katai merah, bintang neutron, bintang katai coklat, planet-planet raksasa seukuran Jupiter, dan lubang hitam ukuran kecil. Bila benda-benda ini jumlahnya sangat banyak, melebihi materi-materi lain yang bercahaya yang bisa kita amati, maka gabungan total massa keseluruhan objek-objek ini dapat secara gravitasional mempengaruhi dinamika di dalam sebuah galaksi dan menjelaskan dari mana asal “tambahan massa” dalam kurva rotasi. Berdasarkan petunjuk dari kurva rotasi, objek-objek ini pastilah terserak di penjuru galaksi namun akan terkonsentrasi di daerah halo. Itulah sebabnya mengapa objek-objek ini secara kolektif dinamakan sebagai MACHO atau MAssive Compact Halo Objects (Objek halo masif dan padat).
Prinsip pengamatan microlensing
Karena MACHO adalah objek yang padat, maka medan gravitasinya sangat kuat sehingga dapat membelokkan jalannya cahaya. Medan gravitasi ini dapat berfungsi sebagai lensa untuk memfokuskan cahaya yang melewati MACHO. Ilustrasinya dapat dilihat pada Gambar di samping. Apabila sebuah MACHO (dalam contoh ini adalah sebuah katai coklat) lewat di antara kita dan sebuah bintang, maka cahaya yang berasal dari bintang tersebut selama beberapa saat akan terfokus ke arah kita sebagai pengamat dan akibatnya bintang akan menjadi nampak lebih terang selama beberapa saat, lalu meredup dan kecerlangannya kembali ke semula. Apabila kita mengamati porsi langit yang cukup besar dalam waktu yang lama, bukan tidak mungkin kita akan dapat mengamati peristiwa ini. Tekniknya dengan demikian adalah menggunakan teleskop yang medan pandangnya luas dan detektor yang sangat sensitif dan dengan demikian dapat mengambil gambar dalam waktu eksposur yang sangat singkat dan terus menerus sepanjang malam, dan juga dilakukan secara otomatis dan terprogram. Salah satu program semacam ini adalah Proyek OGLE yang diprakarsai oleh Universitas Warsaw, Polandia. Hampir dua puluh tahun OGLE beroperasi, mereka tidak hanya berhasil menemukan sejumlah peristiwa microlensing yang diakibatkan oleh lewatnya MACHO, namun juga sejumlah planet ekstrasolar sebagai hasil sampingan.
Penemuan objek-objek MACHO melalui microlensing menunjukkan bahwa mereka memang ada, namun bukanlah satu-satunya materi gelap dan terlebih lagi bukanlah komponen paling dominan. Hal ini karena partikel-partikel dasar penyusun MACHO adalah partikel-partikel baryon dan jumlah total mereka di alam semesta tidak cukup besar untuk dapat dianggap materi gelap. Baryon adalah partikel apapun yang tersusun atas tiga quark, atau dengan kata lain adalah partikel biasa yang kita ketahui selama ini: proton dan neutron. Kelimpahan total partikel baryon di alam semesta ini dapat diperkirakan dari perhitungan pembentukan atom-atom dasar pada waktu-waktu awal sesudah Big Bang terjadi (disebut juga nukleosintesis Big Bang), dan jumlah massa total partikel baryon tidak cukup untuk menjelaskan massa total materi gelap. Jumlah total partikel baryon paling-paling hanya 10 persen saja dari total materi gelap dan oleh karena itu sisanya kemungkinan bisa dijelaskan oleh adanya partikel nonbaryon yang eksotik dan belum diketahui keberadaannya.

Teori kedua: Materi gelap adalah WIMP

Alternatif kedua untuk menjelaskan materi gelap adalah keberadaan partikel-partikel nonbaryon. Partikel nonbaryon adalah partikel selain dari proton dan neutron: bisa neutrino, elektron bebas, atau partikel-partikel eksotik lain seperti partikel-partikel supersimetri atau aksion. Partikel ini haruslah berinteraksi melalui gaya nuklir lemah dan gravitasi, tidak melalui gaya elektromagnetik karena bila demikian pastilah kita bisa mendeteksi mereka. Selain berinteraksi lemah, partikel ini juga harus masif relatif terhadap partikel-partikel lainnya. Itulah sebabnya, agar kontras dengan MACHO, partikel ini kita namakan WIMP atau Weakly Interacting Massive Particles (Partikel masif yang berinteraksi lemah).

WIMP adalah neutrino?

Berhubung partikel WIMP hanya berinteraksi oleh gaya nuklir lemah dan gravitasi, maka mendeteksi partikel ini—apabila ada—juga sangat sulit. Salah satu kandidat partikel WIMP berdasarkan persyaratan ini tidak lain adalah neutrino. Partikel ini tidak bermuatan listrik (netral) dan oleh karena tidak berinteraksi lewat gaya elektromagnetik dan hanya berinteraksi lewat gaya nuklir lemah. Neutrino memiliki massa, walaupun sangat kecil, dan oleh karena itu dapat berinteraksi secara gravitasi dengan objek-objek lain. Apabila neutrino tersedia dalam jumlah berlimpah di alam ini, mungkinkah agregat massa totalnya dapat mengisi “massa tambahan” yang diperlukan? Untuk menjawab ini, kita harus dapat memperkirakan berapa massa total seluruh neutrino di alam ini. Perhitungan ini dapat didekati dengan mencoba mendeteksi neutrino dari sumber-sumber neutrino di sekitar kita, antara lain dari Matahari dan dari supernova terdekat.
Salah satu percobaan pertama untuk mendeteksi neutrino dilakukan oleh astrofisikawan Ray Davis, Jr. dan John Bahcall di dasar Tambang Emas Homestake di Dakota Selatan, Amerika Serikat. Di dasar tambang yang tergelap dan jauh dari gangguan radiasi lain yang dapat mengganggu percobaan, sebuah tangki 100 000 gallon diisi penuh cairan pencuci baju. Sekali waktu neutrino yang datang dari Matahari dan melewati tangki ini akan mengubah Klorin dalam cairan ini menjadi Argon. Secara berkala cairan ini diayak untuk memisahkan Klorin dari Argon, dan dari jumlah Argon yang ditemukan kita dapat memperkirakan berapa jumlah neutrino yang melewati tangki tersebut. Untuk pertama kalinya percobaan ini berhasil membuktikan keberadaan neutrino.
Namun demikian, neutrino kemungkinan besar bukan partikel materi gelap. Berdasarkan simulasi komputer penciptaan struktur skala besar dan galaksi-galaksi di alam semesta dini, peran neutrino sebagai materi gelap gagal menciptakan struktur skala besar dan galaksi-galaksi yang konsisten dengan apa yang kita amati dewasa ini. Pembentukan struktur dan galaksi berlangsung terlalu lama atau bahkan kebalikannya yaitu terlalu banyak galaksi. Oleh karena itu neutrino sebagai materi gelap kini semakin ditinggalkan dan para astronom beralih ke partikel nonbaryon lainnya yaitu partikel supersimetri.

WIMP adalah partikel supersimetrik?

Dalam teori fisika, supersimetri (atau biasa disingkat SUSY) mengandaikan adanya pasangan untuk setiap partikel elementer. Pasangan ini disebut superpartner dan memiliki karakteristik yang sama (massa dan bilangan kuantum), hanya saja bilangan spin mereka berbeda sebesar 1/2. Kurang lebih delapan puluh tahun lalu, Paul Dirac melipatgandakan jumlah materi yang diketahui saat itu dengan memprediksikan keberadaan antimateri, sekarang jumlah materi ini harus dilipatgandakan lagi oleh teori supersimetri—bila teori ini nantinya terbukti benar. Partikel supersimetri yang menjadi kandidat terkuat adalah Neutralino. Partikel ini tercipta pada saat alam semesta masih berusia dini dan saat ini—bila mereka memang betul-betul ada—dapat dideteksi melalui dua cara: melalui detektor kriogenika di bawah tanah atau melalui teleskop neutrino.
Di sebelah kiri adalah partikel-partikel standard yang selama ini kita ketahui, terbagi atas keluarga quark (kuning), keluarga lepton (merah), boson pembawa gaya alias gauge boson (hijau), dan Boson Higgs (biru). Di sebelah kanan adalah superpartner mereka atau disebut juga partikel-partikel SUSY (supersimmetry). Superpartner identik dengan pasangannya, kecuali bilangan spin mereka yang berbeda sebesar 1/2.
Salah satu eksperimen yang bertujuan mendeteksi neutralino melalui kriogenika adalah CDMS atau Cryogenic Dark Matter Search. Berlokasi jauh di bawah tanah di Minnesota, Amerika Serikat, instrumen CDMS menggunakan substrat kristal Germanium dan Silikon yang didinginkan hingga suhunya hanya 1/50000 derajat Kelvin. Pada suhu sedingin ini, atom-atom Germanium dan Silikon dalam substrat kristal ini tidak lagi bergerak dan bersusun membentuk kisi-kisi. Bila partikel neutralino melewati kisi-kisi ini, kisi-kisi ini akan meregang seperti senar gitar dipetik dan akan bergetar sebelum akhirnya kembali diam ke posisi semula. Redaman ini akan melepaskan energi panas berwujud fonon, dan akan dapat dideteksi oleh lapisan tungsten di permukaan detektor. Untuk menjaga suhu detektor tetap stabil dan mengurangi kemungkinan detektor ini mendeteksi sesuatu partikel lain selain neutralino, detektor ini dilapisi berbagai lapisan insulasi yang dapat mencegah panas dari berbagai sumber memasuki detektor dan juga mencegah partikel selain neutralino menembus detektor.
Percobaan CDMS berusaha mendeteksi partikel WIMP secara langsung. Cara lain untuk mendeteksi partikel WIMP secara tidak langsung adalah dengan mengamati reaksi penghilangan WIMP menjadi partikel lain yang dapat dideteksi. Cara ini dilakukan antara lain dengan mengamati neutrino energi tinggi dari Matahari. Objek-objek bermassa besar seperti Matahari dapat menangkap neutralino dan menggiringnya ke arah inti Matahari. Di dalam inti Matahari, neutralino dapat saling bertumbukan dan menghilangkan sesamanya, dan menghasilkan neutrino. Pada inti Matahari, reaksi nuklir penggabungan empat inti hidrogen menjadi satu inti helium juga menghasilkan neutrino, namun energi neutrino ini kira-kira seribu kali lebih lemah daripada neutrino yang dihasilkan dari tumbukan neutralino. Neutrino energi tinggi hasil tumbukan neutralino ini kemudian akan melesat ke segala arah, namun sebagian akan mencapai Bumi dan akan dapat dideteksi oleh berbagai teleskop neutrino energi tinggi, misalnya Teleskop Neutrino ANTARES yang beroperasi di dasar Laut Tengah atau IceCube yang beroperasi di lapisan es di Kutub Selatan.

Teori ketiga: Materi gelap tidak ada

Penjelasan ketiga adalah materi gelap tidak ada dan gejala “massa tambahan” dalam kurva rotasi dijelaskan secara sederhana sebagai kurangnya pemahaman kita akan Hukum Ketiga Newton, dan oleh karena itu di hadapan gejala ini perlulah dimodifikasi. Konsep ini diajukan oleh Moti Milgrom dan ia menamakannya MOND atau MOdified Newtonian Dynamics (Dinamika Newton yang Dimodifikasi). Milgrom menjelaskan bahwa Hukum Ketiga Newton yang selama ini kita gunakan berlaku hanya untuk percepatan besar namun perlu diberi parameter tambahan bila kita meninjau percepatan yang sangat kecil. Jadi untuk kasus percepatan kecil, Hukum Ketiga Newton bukan lagi F = ma, tetapi F = m a2/a0, di mana a0 adalah sebuah konstanta percepatan yang besarnya kira-kira sekitar 10-8 cm s-2.
Gejala "massa yang hilang'' cenderung muncul pada sistem yang memiliki percepatan kecil (di samping kiri garis tegas vertikal). Oleh karena itu muncul ide bahwa Hukum Ketiga Newton perlu dimodifikasi untuk kasus percepatan kecil. Sumber: Majalah Science, 2009.
Kurva rotasi yang diprediksi MOND (titik-titik biru) cocok dengan kurva rotasi yang diamati (garis tegas). Ini adalah kasus untuk NGC1650, dan berhasil juga untuk galaksi-galaksi lain. Sumber: Majalah Science (2009)
Dengan menggunakan MOND, kurva rotasi dapat dijelaskan dengan baik sekali dan dihitung hanya dengan menggunakan massa baryonik. MOND juga memprediksikan adanya galaksi dengan kecerlangan rendah, dan juga gejala-gejala lain yang belum dapat diprediksi teori-teori materi gelap. Dengan mempelajari secara sistematik kurva rotasi galaksi-galaksi, nilai skala akselerasi dapat dipertajam harganya menjadi a0 ~ 1.2 x 10-8 cm s-2 dan ternyata nilainya serbasama untuk seluruh galaksi.
Namun demikian, MOND bukannya tanpa masalah. Usaha untuk menjelaskan kecepatan gerak gugus-gugus galaksi ternyata tidak berhasil dan kita harus menggunakan nilai berbeda a0, atau bahkan harus mengasumsikan keberadaan sejumlah kecil materi gelap. Dan yang terutama, MOND hanyalah teori fenomenologi yang bersifat empirik dan belum punya dasar fisika. Salah satu ujian terpenting bagi MOND adalah ia harus diperluas agar dapat bekerja juga dalam kerangka Relativitas Umum yang memandang gravitasi sebagai sebuah gejala geometri ruang-waktu.
Pengembangan MOND ke dalam kerangka Relativitas Umum diajukan oleh fisikawan Jacob Bekenstein dalam sebuah makalah yang diterbitkan tahun 2004. Teori yang diajukan Bekenstein ini dinamakan TeVeS atau Tensor-Vektor-Skalar. Teori TeVeS dianggap cukup lengkap dan terdefinisi dengan baik dan dapat digunakan memprediksikan gejala-gejala yang terjadi dalam skala kosmologi, yang terpenting adalah pembentukan struktur skala besar pada masa awal-awal alam semesta.
Penggunaan TeVeS untuk mensimulasi pembentukan struktur skala besar menunjukkan hasil yang kurang lebih sepadan dengan apa yang diamati sekarang. Akan tetapi, agar TeVeS bisa konsisten dengan data pengamatan, dibutuhkan keberadaan medan gravitasi tambahan yang perilakunya ternyata menyerupai materi gelap dalam wujud neutrino. Secara prinsip hal ini tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip MOND namun tidaklah seelegan ide awal MOND yang dimaksudkan sebagai konsep yang sama sekali tidak membutuhkan materi gelap.

Diskusi

Hingga saat ini, data pengamatan mengindikasikan bahwa jika materi gelap memang ada, maka wujudnya adalah partikel nonbaryonik yang eksotik dan berinteraksi dengan “materi normal” melalui gravitasi dan tidak secara elektromagnetik. MACHO dan neutrino boleh jadi adalah materi gelap juga walaupun bukanlah komponen yang paling dominan. Partikel-partikel supersimetrik dengan demikian adalah kandidat terkuat sebagai “materi gelap” dan masih menunggu untuk ditemukan melalui eksperimen-eksperimen fisika dan astronomi. Di satu sisi, bila materi gelap tidak ada dan yang kita butuhkan adalah modifikasi Hukum Newton, maka MOND dapat diuji dengan melakukan serangkaian pengamatan lensa gravitasi dan radiasi latar (CMB atau Cosmic Microwave Background) untuk meneliti efek TeVeS pada pelensaan gravitasi.
Inilah ilmu pengetahuan, dibangun melalui perbedaan pendapat dan kreativitas, namun alamlah yang menjadi hakim.
Tags: , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Wajah Hartley 2 Dari Jarak 700 km

Kayak ayam goreng…”, begitulah kata–kata yang langsung tercetus dalam benak saat menyaksikan citra demi citra hitam putih yang tersaji di layar. Bukan, ini bukan bagian dari demam Upin–Ipin si kembar penggemar ayam goreng dari tanah seberang yang sedang menyihir dunia anak–anak Indonesia. Melainkan sebentuk kekaguman yang spontan tercetus kala menyaksikan hasil bidikan wahana antariksa Deep Impact yang melintas dekat inti komet 103 P/Hartley 2 dalam misi antariksa nir–awak EPOXI (Extrasolar Planet Observation and Deep Impact Extended Investigation) pada 4 November 2010 lalu.
Wajah inti komet Hartley 2 dari jarak 700 km seperti diabadikan Deep Impact pada 4 November 2010. Nampak bentuk sangat lonjong mengesankan seperti paha ayam dengan dimensi ,25 x 0,4 km, dengan aliran–aliran jet keluar dari permukannya. Kredit foto : NASA
Citra–citra Deep Impact tak hanya mengonfirmasi dimensi dan bentuk inti komet Hartley 2 yang kecil dan sangat lonjong sebagaimana telah diungkap sebelumnya dalam observasi teleskop landas–bumi Spitzer dan teleskop radio Arecibo secara terpisah, namun juga menyingkap sejumlah fakta yang mengubah cara pandang kita akan komet.
Terbang lintas dekat Deep Impact pada inti komet Hartley 2 merupakan kulminasi misi EPOXI yang telah bergulir selama lima tahun lebih sejak 21 Juli 2005 pasca Deep Impact usai menjalankan misi utamanya mengobservasi dinamika komet 9 P/Tempel 1.
Pengendali misi di NASA Jet Propulsion Laboratoy yang dimanajeri Tom Duxbury memerintahkan Deep Impact menjalani serangkaian manuver yang memungkinkannya mendekati target baru dengan karakter orbitnya sangat berbeda. Semula Deep Impact dijadwalkan melintas dekat komet Boethin pada 5 Desember 2008. Namun komet ini demikian redup dan tak pernah teramati lagi sejak 1986 sehingga akurasi orbitnya tidak menjamin keberhasilan misi. Deep Impact lantas diarahkan ke komet Hartley 2. “Komet Hartley 2 sama menariknya dengan komet Boethin karena intinya relatif kecil namun aktif,” demikian Michael A’ Hearn, astronom University of Maryland sekaligus penyelidik utama misi EPOXI menjelaskan. Dalam kata–kata Tom Duxbury, “ketika komet Boethin tak terlacak, kami mengarahkannya ke komet Hartley 2 sebagai cadangan, yang sama menariknya namun membutuhkan waktu dua tahun lebih lama guna mencapainya.
Puncak terbang lintas Deep Impact berlangsung pada 4 November 2010 pukul 21:00 WIB kala ia berhasil mendekati inti komet Hartley 2 pada jarak hanya 700 km sembari melaju dengan kecepatan 44.300 km/jam. Inti komet terlihat sangat lonjong dengan bentuk mirip paha ayam, atau dalam kata–kata astronom Donald Yeomans yang menjadi salah satu anggota tim peneliti, “mirip kacang.” Bentuk inti ini mirip dengan bentuk inti komet 19 P/Borrelly sebagaimana diabadikan wahana antariksa Deep Space 1 pada bulan September 2001, hanya saja inti komet Borrely empat kali lebih besar. Bentuk inti tersebut mengesankan sebagai dua gumpalan material terpisah (biner) yang kemudian bersatu kembali oleh tarikan gravitasi keduanya. Jika hal ini memang benar terjadi, maka bisa disimpulkan dinamika yang terjadi dalam kawasan sumber komet (yakni di sabuk Kuiper–Edgeworth dan awan komet Oort) menyerupai apa yang terjadi di kawasan sabuk Asteroid Utama (seperti diperlihatkan asteroid Hayabusa dan Kleopatra), meski keduanya sangat berbeda sifat.
Diameter inti Hartley 2 (dihitung pada sumbu panjangnya) adalah 2,25 km atau dua kali lipat lebih besar dibanding nilai 1,14 km yang dihasilkan dari observasi teleskop Spitzer pada  bulan Agustus 2008. Dengan demikian inti komet Hartley 2 adalah inti komet terkecil yang pernah dikunjungi wahana antariksa nir–awak, memecahkan rekor sebelumnya yang dicatat wahana antariksa Stardust saat mengunjungi inti komet Wild 2 (diameter 4,0 km) pada bulan Januari 2004 silam. Komet Hartley 2 juga merupakan komet kelima yang telah dikunjungi wahana antariksa yang dirancang khusus untuk terbang lintas, setelah komet Halley, Borrelly, Wild 2 dan Tempel 1.
inti komet Halley dari jarak 500 km seperti diabadikan Giotto pada 1986. Kanan : inti komet Borrellly dari jarak 2.200 km yang diabadikan Deep Space 1 pada 2001. Permukaan Borrelly hampir empat kali lebih aktif dibanding Halley. Aktivitas yang tinggi pun dijumpai pada inti Hartley 2 yang bentuknya hampir sama dengan Borrelly. Kredit foto : Fernandez
Meski kecil, permukaan inti komet Hartley 2 cukup aktif. Aliran–aliran jet pembawa material volatil yang menyusun coma (kepala komet) dan ekor komet diidentifikasi muncul pula dari sisi gelap (bagian inti yang membelakangi Matahari). Ini mencengangkan sebab secara teoritis aliran jet hanya akan muncul di sisi terang sebagai konsekuensi dari pemanasan sinar Matahari pada permukaan inti yang lantas membuat materi volatil tersublimasi menjadi gas. Hal lain yang mengesankan para astronom penelitinya adalah tingkat produksi gas CO2 yang di atas normal. Gas CO2 menjadi komponen utama material volatil yang dilepaskan inti komet Hartley 2, namun apa penyebabnya belum diketahui Aktivitas inti komet Hartley 2 mengesankannya sebagai komet muda yang baru saja hadir di orbitnya dengan hampir 50 % permukaan inti aktif, berbanding terbalik dengan komet Halley (dipersepsikan sebagai komet tua) yang hanya memiliki 10 % permukaan inti aktif seperti diperlihatkan wahana antariksa Giotto saat mendekatinya di tahun 1986. Dalam kata–kata Yeomans, komet Hartley 2 adalah “kecil, namun hiperaktif…”
Belum jelas apakah aktifnya inti komet Hartley 2 juga berhubungan dengan bentuk intinya. Sebagai pembanding, inti komet Borrelly yang bentuknya mirip juga cukup aktif (37 % permukaannya aktif), bertolak belakang dengan inti–inti komet lainnya yang bentuknya berbeda seperti Wild 2 (24 % permukaan aktif) dan Tempel 1 (14 % permukaan aktif). Aktivitas inti berbanding lurus dengan jumlah massa inti yang terlepas ke angkasa setiap kali komet muncul di dekat Matahari. Komet Hartley 2 diestimasikan memiliki massa 300 juta ton sehingga dengan aktivitasnya pada saat ini, komet ini diperkirakan hanya akan bertahan dalam tempo 700 tahun ke depan sebelum kemudian terpecah–belah dalam evolusinya.
Berdasarkan grafik evolusi komet dari Fernadez (2005), dalam 700 tahun ke depan komet Hartley 2 akan bertransformasi dari komet beraktivitas tinggi seperti saat ini menjadi komet beraktivitas rendah (fraksi permukaan inti aktif jauh lebih kecil dari 1 %) dan selanjutnya inaktif sebelum terpecah–belah. Pemecahbelahan inti komet akan menyebabkan komet aktif kembali, namun juga diikuti dengan tahap pemecahbelahan selanjutnya sehingga inti komet bakal hancur lebur menjadi kerikil dan debu berukuran kecil yang kelak menjadi sumber hujan meteor saat bersinggungan dengan orbit planet.

Referensi : Fernandez. 2005. Comets: Nature, Dynamics, Origin and Their Cosmogonical Relevance.
Tags: , , ,

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS